HAMPIR sepuluh tahun saya pensiun dari ASN namun agenda kegiatan tak pernah padam. Kegiatan jurnalistik selama 45 tahun –lebih panjang daripada karir diplomatik– atau diundang menjadi pembicara dalam soal-soal diplomasi dan politik internasional, memelihara jaringan internasional maupun sekadar memenuhi undangan ngopi sambil silaturahmi adalah keseharian saya. Ngopdar bersama teman-teman lama tentu paling menyenangkan.
Belakangan ini kami sering berdiskusi tentang masalah-masalah politik dalam negeri, terutama menyangkut proses pemilihan capres/cawapres dengan berbagai dinamika dan perkembangannya.
Satu catatan penting kami adalah mengenai siapa dan bagaimana proses pemilihan presiden kita telah menyandera negeri ini sehingga harapan kemajuan telah semakin menjauhi negeri ini.
Tentu saja, masalah ini berkaitan dengan situasi terkini: perampokan uang negara dan rakyat melalui berbagai skema dengan pemainnya itu-itu saja, protes emak-emak karena kenaikan harga sudah tak tertahankan, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian menjadi-jadi, avonturisme diplomasi dan postur Indonesia di mata internasional menjadi topik diskusi yang menarik.
Semua itu berawal dari pascareformasi 1998: amandemen konstitusi yang telah menyebabkan negeri ini kehilangan arah, jati-diri, dan lahirnya oligarki yang kini menguasai, mengatur negeri ini.
UUD 1945 sebagai amanah pendiri negara telah digantikan dengan UUD 2002 yang mengintrodusir liberalism, kapitalisme yang telah membawa kerusakan pada sistem ketatanegaraan yang berbasis pada kedaulatan rakyat, demokrasi, rule of law, sistem ekonomi dan akhirnya pembelahan anak-bangsa sebagai dampak sosialnya.
Mari kita pilah, dengan mengawali pada isu paling menarik, gencarnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan civil society dan lembaga negara maupun partai atas tuntutan pembatalan presidential threshold nol persen, tanpa way out ke depan.
Yang tampak di mata kami adalah bahwa situasi di MK itu akan menggiring kita pada pilihan-pilihan tidak ideal: revolusi atau people power!
Kesimpulan kami, capres pilihan rakyat bakal tidak bisa bertarung dalam Pilpres 2024. Terpilihnya presiden baru secara jujur dan demokratis adalah solusi bagi bangsa ini untuk mengatasi kerusakan yang semakin parah. Negeri ini terancam jatuh ke jurang kehancuran, ketika harapan rakyat untuk terbentuknya pemerintahan pilihan rakyat untuk munculnya pimpinan negara sejati –bukan boneka—dengan agenda tegas soal KKN, good governance, dan tuntutan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat kini telah tergadai.
Ini antithesis model kepemimpinan nasional sekarang.
Siapa pembajak tuntutan rakyat itu? Jelas oligarki –baik politik dan ekonomi atau kombinasi keduanya—yang mesti dihentikan.
Mereka telah menggadaikan asas kedaulatan rakyat, demokrasi dan keadilan. Mereka juga telah menyandera negeri ini sehingga tidak bisa tampil elegan, terhormat dan berperan dalam melindungi kepentingan nasional di mata dunia.
Lalu bagaimana dengan pilihan revolusi atau people power? Seperti apa action rakyat yang bisa diantisipasi?
Jika opsi revolusi yang menjadi muara keresahan rakyat sekarang, maka skenarionya seperti revolusi ganyang PKI di akhir Orde Lama, dan reformasi 1997-1998 menjadi modelnya. Artinya, akan ada perubahan mendasar yang dituntut. Sikap rakyat tegas: once for all, atau: now or never!
Rakyat ingin dengan kepemimpinan baru –pro change—akan perubahan across the board—yang lebih menjamin terlaksananya amanat pemimpin dan pendiri negara: mengangkat harkat dan martabat rakyat bumiputera yang telah terinjak-injak dan terhina di zaman kolonial dan terus berlanjut sampai kini –dengan ketidakberdayaan elit pemegang amanah— bahkan semakin memburuk dalam perjalanan usia Republik yang sudah hampir mencapai 77 tahun.
Di sini ada dua agenda: kembali ke UUD 1945 untuk memulihkan asas kedaulatan rakyat, demokrasi dan keadilan yang telah dihancurkan dengan semakin berkuasanya oligarki.
Kedua, mengembalikan sistem demokrasi ke sistem musyarawah mufakat yang menjadi pilihan pendiri negara yang tercermin dalam UUD 1945 asli. Artinya, sistem demokrasi one man one vote, pemilihan langsung telah menggiring negeri ke demokrasi liberal tidak cocok bagi kondisi dan jati-diri bangsa ini.
Politik uang, mahalnya ongkos demokrasi, terbelinya tokoh-tokoh terpilih menjadi presiden, gubernur, bupati di walikota dan pejabat-pejabat negara lainnya, penegak hukum di pengadilan dan berbagai Lembaga, termasuk berbagai lembaga terkait penyelenggaraan pemilihan umum dan busuknya mahkamah peradilan dengan uang oligarki telah menghacurkan asas kedaulatan rakyat dan menjauhkan kita dari rasa keadilan.
Fenomena penghancuran landasan ekonomi bangsa, perampokan kekayaan alam negeri yang seyogianya untuk memakmurkan rakyat bumiputera yang diakibatkan oleh kebijakan dan landasan perundang-undangannya telah tersandera oleh kepentingan oligarki dan negeri lain semakin menyakitkan hati rakyat dan harus dihentikan segera.
Singkatnya, penyelenggara negara sudah tidak amanah, dan mereka hanya menjalankan, membela, mempertahankan kekuasaan oligarki yang sudah merusak peri keadilan di negeri ini. Makanya, revolusi mendasar menjadi pilihan.
Sayangnya, jika opsi revolusi mendasar menjadi course of event ke depan ongkosnya terlalu mahal yang ujung-ujungnya bisa merusak persatuan dan kesatuan nasional serta penderitaan rakyat yang semakin memburuk. Atau hanya ini opsi yang ada?
Bagaimana dengan opsi people power?
People power bertujuan terbatas dan jangka-pendek karena merupakan pelampiasan kemarahan dan sikap frustrasi rakyat terhadap kondisi kekinian yang kian memburuk di negeri ini.
Rebut kekuasaan dan kembalikan kepada rakyat, buat konvensi baru dan lakukan perbaikan sesuai tuntutan.
Di awal, opsi ini mirip dengan kemarahan rakyat menjelang reformasi, untuk mengkhiri rezim otoriter. Harus dikawal, karena seperti dalamreformasi 1998 ternyata banyak kuda Troyan –penunggang gelap—menyertainya. Terbukti agenda mereka tercapai semua, sementara keadilan bagi rakyat semakin menjauh.
Sesuai dengan topik artikel ini, kemarahan rakyat membuncah karena frustrasi akibat pembajakan demokrasi untuk menyingkirkan calon-calon presiden pilihan rakyat membuat rakyat didorong mengambil tindakan sendiri. Keputusan penolakan MK adalah pemantiknya.
Penolakan oleh MK terhadap belasan tuntutan untuk pembatalan PT dianggap sudah merupakan ‘orderan’ oligarki. Maka penolakan MK bisa menadi pemantik munculnya api yang jauh lebih besar. Rakyat akan marah dan turun ke jalan.
Dan karena itu oligarki dan MK harus diberi pelajaran agar tidak semena-mena dalam pelaksanaan tugasnya. Jika MK mengklaim mereka berfungsi menjaga konstitusi, maka pertanyaan rakyat konstitusi yang mana?
Dalam UUD 1945 norma ‘threshold’ ini tidak dikenal. Bahkan di negara paling demokratis sendiri seperti Amerika Serikat tidak mengenal sistem ini. Di sana ada ratusan partai, ratusan calon presiden menjamin hak dan kebebasan berkumpul serta memilh pemimpin tetap terpelihara.
Di Amerika, bahwa pada akhirnya hanya ada dua partai, dan satu partai independen yang berada di tingkat final, dan calon presiden hanya kontestasi antara Partai Republik dan Partai Demokrat adalah buah sistem yang sudah terjaga dengan baik.
Tidak ada perampasan kedaulatan rakyat, dan tidak ada pengingkaran terhadap asas demokrasi.
Ini tidak terjadi sekarang di negeri ini, kata seorang pengamat kepada saya. Kita telah menghianati sistem demokrasi Pancasila.
Opsi revolusi atau people power, atau people power kemudian diikuti oleh revolusi menjadi opsi berbahaya. Ketika api telah membakar kemarahan maka emosi sulit dikontrol, penegakan hukum menjadi berantakan. Ini bisa menjadi revolusi jalanan yang berbahaya. Tentu model opsi ini harus kita hindari.
Caranya?
Pertama, dengarkan baik-baik suara rakyat frustrasi karena kekecewaan, kondisi ekonomi yang kian menjauhkan harapan tercapainya tujuan negara seperti dijanjikan oleh para founding fathers, atau hadirnya UU yang kian jauh dari rasa keadlilan, atau maraknya aksi KKN yang telah merugikan negara ribuan triliun rupiah melalui perampokan terorganisir.
Kondisi hari ini tidak baik-baik saja. Kondisi nyata tidak bisa membohongi mat akita, dan pencitraan model bayaran bukanlah panacea, kata seorang teman.
Kedua, tegakkan kembali asas kedaulatan rakyat dan demokrasi untuk menjamin terlaksananya asas kebebasan berkumpul dan memilih pemimpin terbaik yang akan diberikan amanah. Karena itu, batalkan norma ‘threshold’ yang tidak dikenal dalam UUD 1945.
Ketiga, tegakkan kembali kebijakan dan UU yang menjamin kepentingan rakyat dan jangan takut menentang kepentingan oligarki. Cegah segera kerusakan alam dan kekayaannya yang kini telah menjadi ajang rampokan oligarki.
Keempat, jalankan amanah jabatan dengan sebaik-baiknya, jauhkan diri dari perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang melukai hati rakyat. Pelihara integritas dan kejujuran dan hindari sikap partisan yang kian marak di lembaga-lembaga negara.
Kelima, tegakkan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu –tajam ke bawah, tumpul ke atas—dan hindari sikap partisan dalam menegakkan keadilan.
Niscaya, jika lima tuntutan itu dilaksanakan, maka revolusi atau people power menjadi tidak relevan lagi, begitu kesimpulan kami.
Oleh: Haz Pohan. Pemimpin Redaksi KBA News