BeritakanID.com - Prof. KH. Syukron Ma’mun mengajak umat Islam memetik nilai sejarah yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria yang sarat pemikiran, pengorbanan, dan keyakinan kuat bagi hadirnya generasi penerus masa depan.
Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu mengisahkan Nabi Ibrahim as di dalam perjalanannya selalu mendambakan seorang putera. Doa Nabi Ibrahim, Robbi habli minassholihin. Ya Allah berikanlah kepada kami anak yang saleh.
“Inilah pemikiran seorang yang tua agar ada penerus generasinya nanti yang akan melanjutkan perjuangannya,” urai Kiai Syukron saat menjadi khatib shalat Idul Adha 1443 Hijriyah di Jakarta International Stadium (JIS), Papanggo, Jakarta Utara, Minggu pagi, 10 Juli 2022, yang juga diikuti KBA News.
Hal itu, sebut Kiai Syukron juga terjadi pada diri Nabi Zakaria. Tatkala umur Nabi Zakaria sampai 120 tahun, dan istrinya berumur 98 tahun yang tidak mungkin dia punya anak.
“Tetapi Nabi Zakaria yakin, berdoa kepada Allah tidak pernah gagal. Dia mengambil pelajaran Siti Maryam,” jelas Kiai Syukron yang mengangkat tema khutbah ‘Kurban: Cinta Allah, Cinta Sesama’.
Ketika Nabi Zakaria masuk ke kamarnya Siti Maryam, dia mendapat buah musim panas pada musim dingin, buah musim dingin pada musim panas.
Dengan kejadian ini, Nabi Zakaria pun berdoa untuk mendapatkan seorang putera sebagai penerusnya walaupun umurnya sudah begitu lanjut. Tulang sudah lumpuh, kepala sudah menyala dengan uban.
Tapi yang dikhawatirkan Nabi Zakaria, siapa nanti kepemimpinan sesudahnya yang akan meneruskan perjuangannya, sedangkan istrinya mandul.
“Berikanlah istri saya seorang anak yang saleh yang mewarisi saya dan mewarisi ajaran-ajaran nenek moyang para nabi dan para rasul,” doa Nabi Zakaria diuraikan Kiai Syukron.
Apa yang menjadi rintihan Nabi Zakaria, begitulah juga rintihan Nabi Ibrahim. Kemudian Allah menyampaikan kabar gembira akan memberikan seorang anak yang sabar, itulah Nabi Ismail.
Nabi Ibrahim dikabulkan oleh Allah. Demikian juga Nabi Zakaria, walaupun usia istrinya 98 tahun ternyata dia melahirkan seorang bayi, Nabi Yahya.
“Maka pemikiran semacam ini, harus pindah ke pemikiran kita sekarang ini. Marilah kita seluruh umat Islam berpikir, siapa nanti yang akan memimpin negara ini, siapa yang akan memimpin bangsa ini,” ajak Kiai Syukron.
“Wujudkanlah generasi-generasi yang akan datang, generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,” harap Kiai Syukron.
Pengorbanan
Di dalam peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, menunjukkan bagaimana loyalitas seorang hamba Allah kepada Allah yang mungkin tidak ada makhluk di bumi ini seperti Nabi Ibrahim. Loyalitasnya mengorban yang ia cintai, demi untuk yang lebih ia cintai.
“Bagaimana tidak, Nabi Ibrahim yang di negerinya menghadapi Raja Namrud yang kejam dan diktator, kemudian menghahapi ayahnya sendiri yang menjadi tukang bikin berhala kemudian berhalanya disembah,” urai Kiai Syukron.
Kemudian Nabi Ibrahim dengan kebijaksanaannya, daripada terjadi pertumpahan darah di negerinya dia hijrah dari Mesopotamia menuju Palestina. Dan dari Palestina terus ke tanah suci, Mekkah.
Tapi apa yang terjadi? Pada saat Ismail sudah berumur 12-13 tahun, rupanya gagah, otaknya cerdas dan cekatan, sudah membantu Nabi Ibrahim. Belum selesai ujian Nabi Ibrahim untuk berkorban kesekian kalinya. Untuk menunjukkan loyalitasnya kepada Allah.
Di tengah-tengah Nabi Ibrahim cinta dengan Ismail, diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Nabi Ibrahim pun minta pandangan kepada anaknya. Dan Ismail bilang agar sang bapak melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepadanya.
“Dan pasti engkau akan melihat saya dalam keadaan sabar,” tutur Kiai Syukron kisahkan percakapan Ismail dengan Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim pun tegar, tidak ada keragu-raguan dan melaksanakan perintah Allah. “Ini namanya loyalitas kepada Allah tanpa reserve. Semata-mata loyal kepada Allah. Maka kita tunjukkan sekarang, keloyalan kita kepada Allah apa sekarang,” tandasnya.
Lebih lanjut Kiai Syukron menuturkan, loyalitas memerlukan pengorbanan. Loyalitas tidak muncul dengan sendirinya. Loyalitas Nabi Ibrahim dengan pengorbanan, diperintahkan sembelih anaknya.
Apa yang terjadi? Iblis tidak diam untuk menggagalkan Nabi Ibrahim, hingga datang membujuk Siti Hajar. Iblis juga mendatangi kepada Ismail dan Nabi Ibrahim.
Kiai Syukron pun mengajak untuk introspeksi pada diri sendiri, sejauh mana pengorbanan kita ini. Ia juga mengimbau para pemimpin umat untuk bersatu.
“Jangan karena ambisi pribadimu untuk mencari jabatan, kedudukan, popularitas, kau korbankan umatmu berserak berai, berpisah, bercerai berai,” tegasnya.
“Marilah korbankan ambisimu, tanggalkan ambisimu. Bersatulah pemimpin-pemimpin umat. Mari bawa umat ini ke jalan yang lurus yang dipilih oleh Allah,” sambungnya.
Bagi Kiai Syukron, inilah suatu sejarah yang akan menjadi tolok ukur pada kehidupan kita, kalau seperti itu keadaan orang yang loyal kepada Allah, memerlukan pengorbanan-pengorbanan. “Marilah kita juga berkorban. Korbanlah nafsu kita, keinginan kita,” ajaknya.
Nah, apabila kepentingan itu bertentangan dengan kepentingan umum, di dalam kaidah ilmu usulil fikih, jelas Kiai Syukron, Allah tidak melarang kepentingan pribadi.
Tetapi kalau kepentingan pribadi itu akan merugikan kepentingan umum maka kaidahmya, maslahatul jam’i, kepentingan umum muqoddam didahulukan daripada kepentingan pribadinya.
“Inilah yang terjadi pada peristiwa Idul Adha, baik kita ambil hikmahnya dari haji, ambil sejarahnya yang dibawa oleh Nabi Ibrahim,” tandasnya.
Menurut Kiai Syukron, ibadah haji itu berkorban harta, berkorban perasaan melawan hawa nafsu, menghilangkan segala rasa ambisinya. Mereka memenuhi panggilan Allah swt, datang dari berbagai penjuru dunia.
Keadaaan umat Islam yang sedang wukuf di Arafah dengan pakaian yang seragam, menghilangkan segala atribut yang dimilikinya.
“Di hadapan Allah hanya tunduk dan patuh dengan mengorbankan segala-galanya. Inilah bukti seorang hamba yang taat dan loyal kepada Allah swt,” demikian Kiai Syukron.
Sumber: kbanews