BeritakanID.com - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menyayangkan artikel berjudul “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”, di rubrik Politik dan Hukum Harian Kompas, Kamis 8 September 2022. Foto di dalam berita itu kata dia sangat merugikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Karena itu, Anies dapat mengadukan pemberitaan tersebut ke Dewan Pers untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik,” kata Jamil kepada KBA News, Kamis, 8 September 2022.
Jamil bilang, substansi berita Kompas itu terkait pembebasan bersyarat 23 koruptor. Hal itu mengindikasikan tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap kejahatan luar biasa. Hal itu tentu sangat memprihatinkan mengingat kasus korupsi di Indonesia masih tinggi.
Berita di Kompas itu tutur Jamil ingin mengingatkan bahaya bila tindak pidana korupsi dianggap kejahatan biasa. Hal itu dinilai akan membuat orang srmakin tidak takut melakukan korupsi. “Sayangnya berita tersebut menggunakan foto Anies Baswedan. Padahal ia belum pernah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar dia.
Karena itu, isi berita tersebut sama sekali tidak ada terkait dengan foto Anies. Padahal, foto berita seharusnya sesuai dengan isi beritanya.
Foto berita seperti itu kata Jamil tentunya dapat dipersepsi banyak makna oleh pembacanya. Anies bisa saja dipersepsi sebagai sosok yang seolah-olah pernah melakukan tindak pidana korupsi.
Dari sisi framing berita itu menurut pakar komunikasi Universitas Islam 45 Bekasi Tatik Yuniarti, ada opini yang terbangun. Opini yang akan muncul ketika masyarakat melihat berita tersebut, seolah-olah Anies termasuk orang yang terlibat dalam kegiatan tindakan korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan Formula E.
“Kalau saya baca secara keseluruhan artikel itu, berita tentang Pak Anies sebenarnya hanya berita tambahan saja. Berita bahwa Pak Anies dipanggil KPK untuk memberikan keterangan terkait penyelidikan dugaan korupsi perhelatan Formula E. Kenapa tidak gambar dari ke-23 koruptor itu yang dimasukkan dalam frame Kompas?” kata Tatik Yuniarti.
Terkait dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E kata Tatik baru dalam tahap penyelidikan. “Meskipun, kita sudah tahu beberapa waktu lalu pernah juga Pak Anies sebenarnya memberikan keterangan dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana Formula E ini diselenggarakan, termasuk aliran anggarannya seperti apa,” tutur dia.
Dari sisi komunikasi, jelas gambar yang disajikan itu akan sangat memberikan frame ke publik sebuah pertanyaan atau menduga apakah benar Anies terlibat di situ dan seberapa besar perannya dalam kasus Formula E yang sedang diselidiki.
“Nah, ini menjadi panas karena kita memang akan mendekati tahun politik, di mana Pak Anies menjadi salah satu tokoh yang kemungkinan besar dicalonkan sebagai Presiden,” ujar Tatik.
Begitu pun dari sisi politik, ketika gambar ini dimunculkan, opini publik akan terbentuk. Penggiringan opini itu akan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap seorang tokoh, dalam hal ini Anies Baswedan.
“Ini mungkin yang diinginkan oleh beberapa kelompok politik tertentu agar (Anies sebagai) tokoh yang relatif bersih, ternyata memiliki track record buruk. (Anies) yang selama ini dielu-elukan, sekarang persepsi publik kepadanya akan menjadi turun,” katanya.
Bagi Tatik, dari sisi punishment, Kompas sebenarnya ingin mengajak masyarakat untuk mencermati terutama terkait 23 narapidana yang mendapatkan keringanan hukuman berupa pebebasan bersyarat.
Para koruptor yang sudah mendapatkan hukuman, seharusnya dijalani. Ketika mereka mendapatkan keringanan seperti itu, tentu menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia.
“Dengan kejadian ini, kadar kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum jadi rendah. Jika pemerintah memberikan contoh yang baik, penegakan hukumnya seharusnya dilakukan secara baik pula terutama penegakan hukum terhadap mereka yang sudah mendapatkan vonis menjalani hukuman sebenar-benarnya. Sayangnya, Kompas justru menampilkan gambar yang bukan seharusnya ditampilkan.”
Sumber: kba