Oleh: Muhammad Yamin Nasution – Pemerhati Hukum
Presiden Jokowi menghadiri acara Nusantara Bersatu yang digelar sejumlah relawan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, Sabtu (26/11/2022). Dalam pidatonya Jokowi mengatakan:
“Konsekuensi ke depan pemimpin seperi apa yang kita cari? Hati-hati, saya titip hati-hati, pilih pemimpin yang ngerti apa yang dirasakan rakyat, setuju?”
Lebih lanjut Presiden mengatakan:
“Ciri-ciri pemimpin yang memikirkan rakyat memiliki banyak keriput pada wajahnya dan berambut putih. Menurut Jokowi, ciri-ciri itu dia ketahui karena sudah lama menjabat sebagai presiden. Kalau wajah cling (mulus) dan bersih, tidak ada kerutan di wajah, hati-hati. Lihat rambutnya, kalau putih semua, ini mikirin rakyat ini,”
Dampak dari acara dan pidato presiden tersebut menuai banyak reaksi publik, dimana berdasarkan pernyataan Menpora sebelumnya bahwa GBK tidak dapat digunakan untuk apapun, bahkan baru bisa digunakan ketika penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Selanjutnya perihal dana yang digunakan yang dimana jumlahnya cukup fantastis ditengah susahnya rakyat, tingginya tingkat PHK, belum bencana yang benar-benar baru terjadi di Cianjur.
Terlepas dari semua kontroversi diatas, dalam konsep komunikasi seorang pemimpin berbicara harus jernih dan memiliki kejelasan (clear and clearity), presiden tidak terlarang bicara satire, terlebih lagi adanya dugaan Presiden mengkampanyekan seseorang yang sering disebut menjadi salah satu kandidat Presiden di 2024.
Tentunya, tidak ada batasan yang ditentukan secara pasti kwalisifikasi apa saja yang harus dimiliki seorang pemimpin khususnya dalam memilih kandidat Presiden masa depan selain dari batatasan yang telah ditentukan oleh UUD-NRI 1944 Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan ayat (4), serta syarat -syarat lain yang telah ditentukan oleh Pasal 169 huruf r UU No 7 Tahun 2017 yang menyatakan;
“Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.”
Cara pandang seseorang sangat dipengaruhi pendidikan yang di terima, baik pendidikan formal maupun non-formal. Jamin Soderstom “Qualified President Threshold” (2011) mengatakan bahwa pentingnya syarat kandidat presiden diberikan batasan-batasan yang tinggi, agar potensi orang-orang yang memiliki pengetahuan besar dapat terpilih dan membawa sebuah negara dan bangsa maju dalam kesejahteraan dan peradaban. Dan gaya unik politik kontemporer di tinggalkan, karena menyisakan perpecahan, manipulasi, korup, dan egois (Executive Internasional Leadership Association: Aldo Boitano, Raúl Lagomarsino Dutra, dan H.Eric Schively 2017 : “Breaking Zero Sum Game”). Pemimpin yang memiliki pemikiran-pemikiran besar diharapkan agar dapat terpilih dengan mebawa misi pemenuhan hak-hak sipil.
Apakah benar pemimpin yang perhatian kepada rakyat hanya mereka yang berambut putih atau keriput, seperti ucapan Presiden? Banyak ahli tentang kepemimpinan tentunya tidak ada yang mengatakan demikian. Sebeut saja John Maxwell, Florence Swanson, Kris Peterson, Joseph O’Connor, Jean Lipmann Bluman dan banyak yang lainnya tidak satupun ahli secara global yang menggaitkan dengan fisik. Alm. Ir. Seoakarno seorang yang parlente, nemuin ketika dia berbicara, masyarakat global dapat tunduk padanya, Alm. Gusdur orang yang sangat di akui bahkan beliau diingat oleh masyarakat Cuba, alm Soeharto juga tak kalah pentingnya diakui internasional, Bj. Habibie diakui dunia kecerdasannya, Megawati, dan Bapak SBY juga sangat diakui secara internasional.
Satuhal yang dapat kita pelajari dari presiden – presiden sembelumnya dan dikaitkan dengan pandangan akademis para ahli kepemimpinan dunia, syarat presiden paling utama adalah memiliki kejelasan, dalam arti; jelas asal usulnya bagaimana dia dibesarkan, jelas pendidikannya, sebab pendidikan akan berpengaruh dengan pengetahuannya, semakin banyak pengetahuan seorang pemimpin maka semakin memungkinkan dapat lebih mudah mendeteksi permasalahan – permasalahan bangsa, pengetahuan ketatanegaraan seseorang hanya didapat lewat pendidikan yang memiliki kejelasan.
Mari kita bongkar kira – kira pesan apa yang tersirat pada alenia pertama pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan :
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Bila saya menafsirkan alenia pertama pembukaan UUD 1944 diatas adalah amanah para pejuang bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia dalam hal memilih pemimpin presiden Indoesia, yaitu:
Bahwa masyarakat Indonesia harus kandidat pemimpin yang memiliki kwalisifikasi yang baik.
Memilih pemimpin yang memiliki kemampuan komunikasi yang berstandar internasional, hanya dengan komunikasi yang baik seorang pemimpin dapat menundukkan lobi – lobi politik internasional.
Tidak memilih berdasarkan fisik, ras, dan kecintaan semata.
Dapat dipahami bahwa antara kepemimpinan dan pemerintah terlihat satu kesatuan, pada dasarnya berbeda. Pemimpin adalah berkaitan dengan kepribadian dan karakter pemimpin itu sendiri, dibutuhkan kemampuan berbicara, dalam negosiasi untuk membuat suatu kebijakan, dimana dalam kebijakan pemerintah ada aktor-aktor besae politik dan swasta yang juga ikut andil dalam pembahasan sebelum menetapkan suatu kebijakan. Janji-janji kampanye seorang kandidat menjadi dasar RPJM, apabila seorang pemimpin gagal menaklukkan para aktor-aktor politik, tentunya tidak ada output (janji-janji tidak terlaksana) (David Easton : Political System). Begitu pula bila seorang pemimpin tidak memilki kemampuan politik internasional maka seluruh bentuk kerja sama global akan merugikan rakyat secara nasional.
Kesimpulan bahwa, dalam memilih pemimpin tidaklah terletak pada fisik luar (looks), tinggi, tampan, rambut putih, dan/atau memilki kriput. Masyarakat harus diajarkan bahwa dalam memilih presiden harus melihat dengan benar, latar belakang (jejak digital) seorang kandidat presiden, misi seorang yang calon yang harus dapat di uji, tidak memilih yang menggunakan m, dan menawarkan uang (money politik), karena setiap kandidat tentunya akan menyampaikan hal-hal besar dan mulia, namun bila dengan cara menyogok tentunya bertentagan dengan konsep mulia yang disampaikan. Setidaknya ada dua hal dampak buruk bila memilih berdasarkan, fisik dan money politik, pertama; kandidat tersebut orang yang buruk, kedua; kandidat tersebut tidak akan mementingkan pemilihnya setelah terpilih.