DOKTRIN DESPOTISME YANG MENYERTAI RKUHP TENTANG PENGHINAAN DIRI, PRESIDEN, DARI, WAKIL PRESIDEN DAN LEMBAGA NEGARA

DOKTRIN DESPOTISME YANG MENYERTAI RKUHP TENTANG PENGHINAAN DIRI, PRESIDEN, DARI, WAKIL PRESIDEN DAN LEMBAGA NEGARA

(Investigasi Yuridis Filosofis Terhadap Kejahatan Tingkat Tinggi)

Oleh: Muhammad Yamin Nasution
Dalam Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sedangkan Pasal 219 menyatakan: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Dalam naskah akademik RKUHP dijelaskan bahwa diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” karena dinilai sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Hal ini sudah cukup banyak dibahas orang-orang yang berlatar belakang pendidikan hukum, namun tetap saja dengan banyak alasan pemerintah dapat mengatakan ini yang terbaik bagi bangsa kita, bagi masyarakat Indonesia, dan lain - lain.. walaupun tanpa melibatkan rakyat rezim akan selalu berkata untuk rakyat. 

Menikmati Saat Akhir Demokrasi "DERNIÉRE HEURE DÉMOCRATIQUE" adalah judul yang diberikan pada tulisan ini, mengingatkan masyarakat Indonesia pada dokterin busuknya raja lalim Louis XIV Prancis tentang larangan atas penghinaan diri raja, keluarga, dan istana raja. 
Montesquieu pernah berkata; tidak ada kejahatan yang lebih berbahaya bagi suatu negara daripada ketika suatu kejahatan keagungan tidak dapat ditentukan. Kita pastinya meyakini bahwa pernyataan itu berdasarkan pengalaman dan akal; apakah tidak bisa seorang Raja, Presiden yang memiliki hak istimewa untuk menghukum semuanya? Despotisme subur dalam sejarah, penguasa menyebutkan bahwa kejahatan dan penghianatan tingkat tinggi adalah penghinaan terhadap kekuasan.

Paul Johann Anselm Ritter von Fuerbach dalam buku Investigasi Yuridis Filosofis Terhadap Kejahatan Tingkat Tinggi "Philosophich Juridische Untersuchung Über das Verbrechen des Hochverraths" (Realese 1 Januari, 1798) yang juga dikenal sebagai orang yang mengusulkan asas legalitas (nulum crimen nulla poena sine lege) pada tahun 1801, dan akui secara universal pada tahun 1813. Kesulitan untuk memisahkan antara kejahatan tingkat tinggi 'makar' dengan penghinaan kehormatan Republik, Raja, dan Pengeran. Didalam halaman 6 buku tua Von Fuerbach tersebut, kita dapat melihat sejarah bahwa kejahatan tingkat tinggi bukan sekedar makar, melainkan juga penghinaan terhadap kekuasan, karena dua hal tersebut dianggap mempengaruhi kehormatan penguasa juga mempengaruhi kepentingan penguasa. Kepentingan luar biasa untuk menjaga kehormatan penguasa, sehingga dari karakteristik penghianatan tingkat tinggi adalah kejahatan yang dilakukan seorang warga negara baik terhadap Negara sebagai objek langsung dari penghinaan atau penghinaan terhadap penguasa. (Von Fuerbach) Kejahatan negara terdiri dari tindakan-tindakan dimana negara sendiri adalah objek dari penghinaan, dari hal ini mudah dipahami bahwa kejahatan paling serius yang dilakukan dengan sendiri adalah kejahatan menghina negara. Karena negara adalah syarat yang diperlukan dari status hukum dan pemajuan hak seluruh warga negara.

Prof. Eddie.Os Hiarij seharusnya memahami dokterin despotisme usang ini, mengingat disertasi beliau juga berkaitan dengan asas legalitas, tentunya dengan alasan negara pancasila, namun dapatkah dihukum seorang Presiden yang terlalu banyak ingkar janji kampanye, dengan alasan yang sama bahwa itu tidak mencererminkan Pancasila.  RKUHP terlihat bagus karena buatan asli negara ini, namun tidak kita temukan Filsafat Pidana Holistik hidup dalam pembentukan RKUHP tersebut, sebagai berlatar belakang pendidikan hukum, saya tidak melihat semangat kemajuan didalam RKUHP, bahkan jauh dari harapan masyarakat. 

Jeremy Bentham (1830)  dalam buku Traités de Legislation Civile et Pénalé (Hlm 227) mengatakan: ketika menciptakan Hukum pidana sama artinya menciptakan kejahatan "Faire une loi pénale , c'est créer un délit" penegakan hukum di negara ini yang sangat lemah cenderung buruk hendaklah diisi dengan aturan hukum yang benar-benar teruji. Jangan kelak seperti yang dikatakan oleh ahli hukum terdahulu - Jeremy Bentham.

TUTUP
TUTUP