Oleh: Muhamad Yamin Nasution
Tidak ada keputusan yang lebih penting bagi setiap warga negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih, untuk memilih siapa yang akan menjadi Presiden berikutnya. Alasan sederhana saat seorang presiden menjabat, dia akan menjadi tokoh utama dan sentral dalam pemerintahan Indonesia. Dan, secara de facto, de jure akan menjadi pemimpin yang di akui global. Secara sederhana bahwa - tidak ada posisi, jabatan yang lebih berkuasa, kuat, yang lebih berpengaruh (influence) yang dipegang seseorang, bahkan dengan mengorbankan hal terbesar dalam bernegara yaitu; keberhasilan, kemajuan atau sebaliknya perpecahan, kemiskinan, hingga perang saudara, yang paling buruk adalah bubarnya negara berada pada pemimpin terpilih.
Memperhatikan cara bicara, bobot yang di sampaikan, sikap politisi khususnya calon pemimpin masa depan adalah keindahan tersendiri, lalu menuangkan dalam tulisan. Dengan harapan dua hal; Pertama, memotivasi pembaca tentang pentingnya kwalisifikasi presiden yang relevan dan penting bagi kedepan. Kedua, menentang pemilih untuk membantu proses perbaikan kwalitas pemilihan, sehingga menghasilkan pemimpin yang ber-integritas tinggi. Melupakan kandidat yang membawa cara-cara klasik; seolah-olah merakyat, minim pengatahuan kenegaraan, dan umumnya manipulatif.
Saat ini kita hidup dan tengah menghadapi situasi negara yang retak, serta sedang menghirup udara najis "impure air" demokrasi; mulai dari meningginya kesenjenangan sosial (kemiskinan) hingga dugaan mati kelaparan yang sudah cukup banyak terjadi, seorang Ibu harus mengakhiri hidup sendiri dan anak-anak mungilnya karena tak sanggup menghadapi beban hutan, polarisasi berkelanjutan karena pemimpin terpilih gagal menjadi role model pendidikan, sifat bunglon "chameleon" hukum yang berubah menjadi monster yang hanya memangsa kaum - kaum miskin, serta pengkritik kekuasaan, dan orang- orang yang diduga menjadi buzzer-buzer kekuasan yang terus merusak, memprovokasi keindahan hidup berbangsa. Semua itu melukai negara. Bahkan tak jarang udara najis itu dihembusakan oleh penyelenggara negara.
Di luar cakrawala waktu adalah dunia yang berubah. Beberapa orang melihat melalui cakrawala itu dan melihat kedepan. Mereka percaya bahwa mimpi bisa kenyataan. Mereka sedang membuka mata kita dan mengangkat semangat masyarakat. Mereka sedang mengajak masyarakat untuk membangun kepercayaan dan memperkuat hubungan warga negara. Mereka berdiri teguh, percaya diri melawan angin perubahan (dampak-dampak negative perkembangan tekhnologi), dan memberi kita keberanian untuk melanjutkan jati diri bangsa, dan itu yang disebut kepemimpinan oleh Kaouzes & Posner 1995.
Dalam acara Catatan Demokrasi program TVOne, AHY berbicara dan menyinggung tentang Game Theory "zero sum game" bukan tidak beralasan, bahwa seluruh dunia telah bosan dengan karakter politik kontemporer, kuno, egois, dan manipulatif, seperti apa yang pernah di ajarkan Prof. Mahfud MD di Universitas - Universitas besar di Indonesia dalam politik hukum nasional, secara singkat mengatakan bahwa; politik tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh yang abadi, politik hanya berbicara tentang bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasan. Sedangkan oposisi hanya berbicara tentang bagaimana merebut dan menjatuhkan kekuasan. Tentunya ini bukanlah politik yang diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945 aline ke-empat. Gagasan politik yang disampaikan oleh Prof. Mahfud adalah memuliakan yang menang sebagai pahlawan dan merendahkan yang kalah dengan tuduhan tidak siap dengan kekalahan atau memberikan tuduhan "jahat" kepada yang kalah. Dan Executive Development International Leadership Association (ILA) sangat menentang konsep politik tersebut, harus ditinggalkan karena menjadi penyebab lahirnya polarisasi berkelanjutan dalam politik, korupsi, kemiskinan (Aldo Boitano De Moras, Raúl Lagomarsino Dutra, Erick Schockman "Breaking Zero Sum Game: Transforming Societies Through Inclusive Leadership" 2017).[1]
Karakteristik kepemimpinan politik "zero sum game" yang dimaksud umumnya;
Baca Juga
- Viral Gus Miftah Berkata Kasar ke Penjual Es Teh saat Pengajian, Padahal "Digaji Rakyat" Rp18 Juta per Bulan
- Aipda Robig Tembak Siswa SMK, Kronologi Versi Kapolres dan Propam Berbeda di RDP dengan Komisi III DPR
- Ketahuan Bohong, Aipda Robig Tembak Mati Siswa SMK Bukan karena Tawuran tapi Kesal Dipepet
- Egois
Pada acara Roundtable Discussion bertajuk "Geopolitik dan Keamanan Internasional, Ekonomi Global dan Perubahan Iklim", yang digelar The Yudhoyono Institute, di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10/2022) AHY menyerukan agar pemimpin bersatu menurunkan ego masing - masing dengan berkata;
"Mari kita duduk bersama, kita menghindari ego masing-masing. Ini juga seruan tentunya kepada semua negara yang memiliki perilaku yang agresif dalam menyelesaikan konflik atau perseturuan geopolitik," [2]
Apa yang disampaikan oleh AHY sangat tepat, dan mengajak menghancurkan cara pandang "zero sum game", bahkan hal itu sejalan dengan dorongan International Leadership Association (ILA).
- Minimnya Keterlibatan Publik (Social Society)
Pada hari kamis (13/10/2022) di Jakarta AHY juga melontarkan kritisi cerdas atas penyelenggaraan G20 di Bali yang dianggap hanya "GIMIK" dengan mengatakan;
"Iya memang secara formal kita akan susun, yang jelas esensinya adalah kita ingin menjadi bagian, turut ambil peran bahwa urusan hubungan internasional bukan hanya milik antarpemerintah antarnegara, tapi juga civil society semacam TYI dan Universiti Kebangsaan Malaysia,"
Lebih lanjut AHY mengatakan...
"Ada rekomendasi yang sifatnya bagaimana kalau nanti dalam pertemuan G20 bisa dilakukan pertemuan bilateral tapi yang meaningful, bukan gimik, benar-benar menjadi bagian dari semangat untuk mencari solusi bersama. Kalau hanya gimik politik, apalagi itu hanya sekadarnya itu menurut saya tidak akan terlalu berarti."
"Tetapi kalau benar-benar jadi pertemuan, bukan hanya di antara negara-negara G20, tetapi ada di pojok-pojok pertemuan pertemuan bilateral antarpemimpin yang lebih konkret, untuk sekali lagi menemukan solusi untuk yang lebih baik untuk semua," lanjut dia. [3]
Sherry Arnstein menjelaskan dalam teorinya "Ladder of Citizen Participation" (1969) bahwa partisipasi warga negara adalah salah satu model yang paling banyak dirujuk dan berpengaruh di bidang partisipasi publik yang demokratis. Bagi para pemimpin lokal, penyelenggara, dan fasilitator yang ingin memahami teori-teori dasar keterlibatan dan partisipasi publik, dan cara lembaga dan pejabat publik yang diberdayakan menolak kekuasaan warga negara. Arnstein dalam teorinya membuat delapan anak tangga partisipasi masyarakat yaitu; 1). Manipulasi (pemerintah dapat mengatakan semua demi rakyat, untuk kebaikan rakyat, namun tidak melibatkan rakyat pemilik kepentingan yang dimaksud. 2). Terapi, 3). Menginformasikan, 4).Konsultasi, 5).Penempatan, 6). Kemitraan, 7). Kekuasaan yang Didelegasikan, 8). Kontrol Warga.[4]
Prof. Mickey Lauria Ph.D dan Prof. Carissa Schively Sloterback dalam Learning From Arnstein's Ladders: From Citizen Participation to Public Engagement" mencontohkan bagaimana masyarakat Aceh cepat keluar dan sembuh dari traumatik berat akibat dampak bencana tsunami di era pemerintah SBY, hal tersebut dikarenakan masyarakat dilibatkan dalam pembahasan program yang akan dilakukan pemerintah, masyarakat dilibatkan dan turut serta untuk mengatur apa yang diinginkan dan dibutuhkan, masyarakat ikut serta dalam mengelola program yang dibuat. Masyarakat terlibat dalam setiap program dari yang hal kecil hingga terbesar.[5]
- Diktator
Angel Rabasa & John Haseman Military and Democracy in Indonesia (2002) penelitian yang dilakukan oleh gabungan Intelijen AS & SRND untuk kepentingan AS dan negara tetangga di Indonesia, mengatakan bahwa; Indonesia akan kembali ke era kediktatoran pasca perlahan-lahan keluar dari reformasi dan memperbaiki ekonomi dan demokrasinha. Namun kembali terjebak ke kediktatoran dengan indikator-indikator sebagai berikut; 1). tidak terpilih pemimpin sipil yang kompeten, 2). lembaga - lembaga negara pasca reformasi tidak bekerja sebagai mana mestinya, dan lain-lain.[6]
Perlu di pahami dalam bernegara, apabila maka setiap orang akan dibatasi secara berlebihan, keterlibatan publik hilang, terlepas dari perdebatan kurangnya pengetahuan tentang bernegara, sudah sepantasnya memikirkan mereka yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, keterlibatan rakyat sangat dibutuhkan. Secara nyata kita melihat hal pembentukan, pengesahan Undang - Undang Omnibus Law, dan banyak kebijakan lainnya yang minim bahkan tidak melibatkan publik sama sekali.
Kesimpulan;
Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam beberapa kritisinya sedang mengajak bersatunya warga negara ditengah keretakan negara dan bangsa akhir- akhir ini, melalui lintas generasi, lintas budaya, lintas agama, lintas disiplin ilmu, dengan pemikiran - pemikiran ilmiah (literally), dan dapat di praktekkan oleh pemimpin-pemimpin kontemporer yang berpengaruh (tokoh-tokoh bangsa). Selanjutnya AHY seolah-olah mengajak generasi muda untuk "Yok memilih pemimpin masa depan yang ber-integritas, dengan integritas, seorang pemimpin akan melahirkan dampak positive terhadap lingkungan nasional dan internasional. Tentunya pemikiran ini adalah pemikiran muda yang maju bahkan bertaraf internasional, namun apakah tokoh-tokoh politik kontemporer memahami apa yang di maksud pemimpin muda ini?? menjadi pertanyaan besar bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya apa yang disampaikan oleh AHY adalah tafsir mendalam dari alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan;
"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,"
Potongan kalimat di atas adalah amanah negara, amanah seluruh pendiri bangsa kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang memiliki kemampuan berbicara yang bagus, pemikiran yang besar, pengetahuan yang besar pula. Hanya dengan hal-hal tersebut seorang pemimpin dapat menang dalam negosiasi untuk kepentingan publik, hanya dengan kemampuan tersebut seorang pemimpin dapat menundukkan pemimpin - pemimpin global dalam negosiasi ekonomi internasional.