Oleh: Muhammad Yamin Nasution
Senin 21/11/2020 Rapat HIPMI 2020 dilaksanakan di sebuah hotel di Solo yang berakhir dengan adu jotos, tradisi itu bukan hal aneh dalam tradisi demokrasi Indonesia, sipat feodalisme masih mengakar kuat (strength hold). Dibalik kekisruhan itu, hal yang sangat menarik di uraikan adalah apa yang disampaikan dan motif apa dibalik semuanya, serta hubungan hukum secara historical dari keinginan perpanjangan masa jabatan Presiden dengan amandemen terbatas.
Jokowi mengatakan:
“Saya sudah menyampaikan berkali-kali bahwa 14 negara sudah masuk dalam posisi menjadi pasien Bank Dunia atau International Monetary Fund (IMF) dan 28 negara juga mengantre di depan pintu IMF. Diperkirakan sampai angka sekitar 66 persen,”
Jumlah tersebut, kata Jokowi, tidak mungkin mendapatkan bantuan semuanya karena keterbatasan Bank Dunia.
Oleh karena itu, Jokowi mengingatkan kepada bakal calon presiden dan bakal calon wapres untuk membawa suasana politik menuju Pemilu 2024 betul-betul maksimal.
“Debat calon silakan dan debat ide membawa negara ini lebih baik. Akan tetapi, jangan sampai panas, apalagi membawa politik-politik SARA. Hal ini jangan dilakukan. Begitu pula politisasi agama juga jangan dilakukan. Kita sudah merasakan dan itu terbawa lama dan hindari itu,”
Dalam hal ini, antara teks (HIPMI) dan konteks yang disampaikan (Pilpres 2024) benar – benar tidak memiliki korelasi. Pada dasarnya hal itu bukan pertama kali dilakukan oleh Jokowi, yang pada akhirnya membuat kekisruhan politik nasional, bermacam-macam tanggapan dari para peneliti komunikasi publik di sampaikan atas ucapan – ucapan Presiden Jokowi yang terlihat ingin ikut dalam konstestasi kembali.
Tak hanya itu, ketua DPD-RI, Lanyala Mataliti menyampaikan hal yang tak kalah buruknya dalam etika dan prinsip – prinsip bernegara. Dengan dalil-dalil lemah yang menginginkan Undang-Undang Dasar – NRI 1945 dikembalikan ke Naskah UUD 1945 yang asli. Perlu diketahui bahwa frasa dalam UUD 1945 Naskah asli begitu banyak yang terbuka (pemaknaan terbatas) sehingga menjadi celah bagi rezim orde lama dan baru untuk memaknakan sesuai keinginan dan hasrat politik. Hal Ini menjadi perhatian para ahli hukum termasuk Prof. Saldi Isra dalam sebuah Webinar Nasional Fakultas Hukum Universitas Pamulang yang saat itu hadir pula Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan beberapa Professor Hukum dengan judul ” MENEROPONG DEMOKRASI INDONESIA 24 TAHUN REFORMASI”.
Lanyala Mataliti pernah terlibat sebagai pemohon PT20% ke Mahkamah Konstitusi, apakah hingga kini belum juga memahami apa yang dimaksud dengan open legal policy dan bagaimana dampak buruk dari sipat hukum yang terbuka, Prof Donald Lively dalam buku “Foreshadow of Law : Supreme Court Dessent and Constitutional Development” (1992) menjabarkan lebih jauh tentang Hal itu.
Dalam teori post modern sejarah kelam dua rezim terdahulu yang menafsirkan pasal-pasal terbuka dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang akhirnya meluluhlantahkan negara Indonesia, dan menyisakan awan gelap bangsa, dan hingga saat ini masih menyisakan luka dalam bagi negara (yaitu pelanggaran HAM) yang tak kunjung terselesaikan. Post modern teori mengajarkan kita untuk tidak kembali ke belakang yang penuh kesesatan, melainkan terus maju kedepan mencari formulasi hukum yang lebih spesifik, rigit, dan tertutup sehingga tidak ada celah penguasa untuk memanfaatkan persoalan gramatikal yang dimaksud. Walaupun Lanyala dalam uraian tertulisnya mengatakan; atas kekosongan itu kita memberikan tambahan aturan, artinya tetap amandemen tambahan bukan Naskah asli, adapun tambahan UU Konstitusi di Indonesia adalah TAP MPR yang saat ini tidak pernah digunakan, sehingga ide kembali ke UUD 1945 (naskah asli) adalah ide kosong.
Ketua MPR dalam beberapa kesempatan terus menggaungkan keinginan amandemen terbatas UUD-NRI 1945 (dapat dilihat di webinar nasional yang sama via YouTube Unpam), tentunya bukan tidak rasional, hal itu dapat dilakukan untuk kepentingan yang akan datang, dan bebas dari kepentingan rezim saat ini, apabila sepakat untuk kepentingan negara dan rakyat. PDI-P juga menginginkan atas hal yang sama, [2] dengan merubah tiga hal; 1) perpanjangan masa jabatan Presiden satu hingga tiga tahun, yang tentunya akan memperpanjang pula jabatan seluruh anggota dewan, 2) menghapus DPD-RI, dan 3). GBHN.[1]
Pada rapat HIPMI tersebut kita dapat melihat hubungan hukum antara apa yang disampaikan oleh Presiden, ketua MPR-RI selama ini, PDI-P dan Puan Maharani, isu-isu tiga periode, serta ucapan ketua DPD-RI Lanyala Mataliti yang mempersilahkan Presiden untuk membuat dekrit adalah melanggar etika bernegara dalam prinsip-prinsip negara demokrasi. Ucapan tersebut layaknya sidang paripurna, karena seluruh elemen hukum negara telah berkumpul di ballroom hotel hotel. Hal ini mengingatkan saya saat menonton sebuah film kartel besar Kolombia ala Pablo Escobar, bagaimana membahas negara di sebuah ruang super vip hotel, didepan publik mereka menyampaikan “demi kepentingan rakyat dan negara Kolombia” yang pada akhirnya berakhir dengan keributan besar.
Kekuasaan Konsituen Sebagai Fenomena Ekstra Hukum
Kekuatan konstituen tidak dapat dialokasi oleh legislator, eksekutif, atau dirumuskan oleh filsuf besar sekalipun, karena tidak dapat dimasukin kedalam buku-buku catatan, dan dapat menghancurkan kerangka konstitusi, sejarah negara mencatat hal ini pernah muncul, dan tampak seperti cahaya yang merobek – robek dada burung garuda, mengorbankan atmosfir, dan menyakiti korban-korbannya serta melukai negara sangat dalam. Lanyala Mataliti (Ketua DPD-RI), DPR-RI, MPR-RI, dan seluruh unsur pemerintah, tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan, agar mempelajari lebih mendalam hubungan antara kekuasaan konsituen dan hukum, mengkaji implikasi hukum dan kekuasaan lebih benar dan penuh kehati-hatian. Sejarah mencatat kekuasaan konsituen secara tradisi di negara bahkan dunia telah menjadi ektra hukum (extra legal) bahkan pra-politik telah berkali-kali lolos dari segala bentuk pelembagaan dan menjadi tidak relevan secara yuridis (chaos). Hal ini harus menjadi perhatian bersama masyarakat Indonesia agar luka negara tidak terulang kembali.
Dalam tatanan Yuridis manapun bahwa otoritas konsituen adalah tertinggi dalam praktek konstitusional yang sebenarnya. Tentunya pemerintah juga dapat menggunakan kediktatoran dan juncta militer dan kepolisian untuk membenarkan penyimpangan dalam melanggengkan kekuasan. Namun dalam sejarah Indonesia kekuasan konsituen tampil sebagai antitesis politik. (VIVA LA RESISTANCIA INTELECTUALIDAD)