ANOMALI PEMILU 2024

ANOMALI PEMILU 2024

Secara tata bahasa anomali di artikan sebagai sebuah keadaan yang tidak bersesuaian dengan fakta-fakta yang ada. Atau biasa disebut sebagai keanehan, yang tidak lazim terjadi. Sehingga banyak pihak curiga kalau pemilu 2024 banyak kecurangan di dalamnya. Misalnya film dokumneter “Dirty Vote” dari Dandy Laksono yang menghadirkan tiga pendekar hukum ; Zainal Arifin Muhtar, Feri Amsary, dan Bivitri---yang memparodikan dengan narasi kalau pemilu 2024 by desaign akan kecurangan pemilu itu terjadi. 

perasaan akan anomali itu mulai terendus ketika berbagai elemen negara terlibat dalam politik praktis, tremasuk politisasi bansos, ketidak-netralan presiden dan aparat, politik sandera, serta berbagai modus operandi abuse of power. Keterlibatan lembaga survey secara jor-joran menggiring opini publik dengan merilis hasil survey. Ketidak-sinkronan antara massa pendukung, mesin partai, relawan, simpatisan, dan dukungan tokoh---menemui titik bias ketika hasil pemilu jomplang antara paslon dengan mempertimbnagkan pada proses kampanye-kampanye yang di gelar. Ini diluar nalar, tetapi inilah politik---yang menganut teori kemungkinan, semua bisa terjadi.  

dengan merespon situasi demikian itu, Anomali pilihan pemilih terhadap capres berbeda dengan pileg Pemilu Tahun 2024 adalah fenomena yang menunjukkan ketidaksesuaian antara dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan partai politik pengusungnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei yang menunjukkan perbedaan signifikan antara suara pilpres dan pileg. Terlihat PDIP menjadi pemenang dengan prosentase melampaui Golkar dan Gerindra, tetapi suara Ganjar-Mahfud justru jeblok diangka hanya 17 %, sementara trend hasil survey nya lebih tinggi dari paslon AMIN, bahkan kadang melampaui paslon Prabowo-Gibran. 

Salah satu faktor yang diduga menyebabkan anomali ini adalah adanya split ticket voting, yaitu perilaku pemilih yang memilih capres dan caleg dari partai yang berbeda. Misalnya, ada pemilih yang memilih capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung oleh PDI Perjuangan, tetapi memilih caleg dari partai lain, seperti Gerindra, Golkar, atau PKS. Atau sebaliknya Pemilih memilih Caleg Partai PDIP, PPP dan Nasdem tapi memilih Capres Prabowo Gibran. 

Artinya terjadi hukum ketidak-seimbangan suara “Law of balance vote” antara suara partai, karakter pemilih, dan capres atau caleg yang dipilihnya. Hal ini dapat terjadi karena pemilih lebih mempertimbangkan kualitas individu capres dan caleg daripada loyalitas terhadap partai politik. Anomali ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kurangnya optimalisasi mesin politik partai pengusung capres, investasi politik jangka panjang capres, dukungan tokoh-tokoh terhadap capres, dan dinamika politik di daerah-daerah tertentu.

Ditemukan dalam berbagai kampanye caleg hanya mensosialisasikan dirinya tanpa harus mengendorse capres yang di usung oleh partainya. Seperti beberapa kader partai tertentu harus mendukung paslon tertentu, walau partainya mendukung yang lain. Sehingga faktor ini salah satu penyebab kenapa suara pileg tidak bersesuaian dengan suara pilpres. Seharusnya ini menjadi tugas partai politik untuk mengoptimalkan institusi partainya yang bukan hanya tumpangan bagi caleg, tetapi integritas, ideologi dan komitment harus menjadi basis penguatan dalam partai. 

Fenomena ini sesungguhnya berawal dari “ketidak-pede-an” partai politik kepada kader-kadernya yang militan, yang sudah lama berkarir di dunia politik, tetapi hanya karena tidak memiliki finansial (uang), maka partai politik terpaksa melirik tokoh masyarakat, pengusaha yang punya banyak uang untuk di bandrol untuk jadi caleg. Akibatnya pesan-pesan perjuangan dan idelogi pertai tidak sampai karena dikalahkan oleh kekuatan uang---dan terjadilah politik transaksional. Ini mengerikan bagi kehidupan demokrasi sekaligus ancaman bagi keberlanjutan demokrasi. Kapital sosial terpental dengan politik kapital yang berbayar. 

Selanjutnya anomali ini menunjukkan bahwa pemilih semakin kritis dan rasional dalam menentukan pilihannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh identitas partai politik. Anomali ini juga menimbulkan tantangan bagi partai politik untuk meningkatkan kinerja dan elektabilitasnya, serta menjaga koalisi dan komunikasi politik dengan capres yang diusungnya. Namun semua itu bias. Karena para caleg berjuang untuk dirinya sendiri, dan tak terpengaruh dengan dukungan capres yang di usung oleh partainya. Ini satu perilaku yang tidak “hanif” pada nilai-nilai, sehingga anomali itu di produksi oleh sikap politik tanpa ideologi. 

Maka hubungan antara pendidikan politik dan kecerdasan pemilih dalam anomali Split ticket voting, dimana pendidikan politik adalah proses yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan politik kepada masyarakat agar mereka dapat menjadi warga negara yang aktif, berpartisipasi secara konstruktif dalam kehidupan politik, dan memahami tanggung jawab mereka dalam menjaga stabilitas demokrasi. Joseph Schumpeter, (seorang ekonom dan ilmuwan politik Amerika-Austria) ;“ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, , namun yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri”.  

Sedangkan kecerdasan pemilih adalah kemampuan pemilih untuk menilai informasi politik secara kritis, membuat keputusan politik yang berlandaskan fakta, dan menggunakan hak pilihnya dengan tanggung jawab. 

Maka dalam Pemilu Tahun 2024 secara serentak menimbulkan Anomali Split ticket voting dimana fenomena terbelahnya dukungan politik pemilih dalam dua event pemilihan yang ada, misalnya berbedanya dukungan pemilih dalam Pileg dan Pilpres, di mana pasangan capres-cawapres yang didukung, bukan berasal dari kelompok yang didukung oleh partai politik pilihannya. Hal ini bisa (mungkin) di dasari karena humansentris ; seperti karena kesamaan ideologi, kesamaan keyakinan, kesamaan budaya, adat dan suku, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. 

Sehingga terdapat hubungan yang simetris bahwa pendidikan politik yang baik dapat meningkatkan kecerdasan pemilih, sehingga pemilih dapat lebih efektif dalam menavigasi tata cara pemilu, mengidentifikasi hoaks, dan membuat keputusan yang berdasarkan pengetahuan. Dengan demikian, pemilih dapat menghindari anomali Split ticket voting yang dapat merugikan proses pemilihan, mengancam integritas demokrasi, dan memengaruhi keputusan pemilih secara keseluruhan. 

Anomali yang demikian fatal adalah munculnya berbagai “kecurangan” yang mengancam integritas hasil pemilu. Kualitas demokrasi mulai dipertanyakan. Penggelembungan suara secara terang-terangan. Saling tuding antara KPU dengan KPPS saat siRekap bermasalah dan menuai kontroversi dari berbagai pihak. KPU hanya bisa meminta maaf dengan alasan tidak ada niat untuk memanipulasi suara. Dan KPPS menjadi pernyataan keras KPU bahwa semua ini berawal dari KPPS. An sich---ini hanya polemik ibarat “menabur gula di kebun tebu”. 

Apakah rakyat harus percaya pada drama itu?, sebuah video yang pernah tayang pasca pemilu 2019 yang lalu dalam satu kelas seorang professor berkata ; “Di Amerika hasil pemilu baru diketahui setelah beberapa hari usai pemilu, di Somalia baru diketahui pemenang pemilu setelah 20-30 hari setelah pemilu. Dan di Indonesia, pemenangnya sudah diketahui sebelum pemilu”. Narasi itu sepertinya mengena pada politik Indonesia saat ini. 

Kedigdayaan rezim atas keberpihakan politiknya justru memproduksi anomali dalam ruang berdemokrasi. Dan ini adalah ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Masih perlukah pemilu?, kalau kecurangan, ketidakjujuran, ketidak-adilan menjadi histeria dan pembenaran bagi mereka yang menikmati kebohongan dalam berpolitik. 

Dan anomali adalah petunjuk terburuk dan gelap untuk mengumumkan kematian demokrasi---dan inilah Obituari Demokrasi. 

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis buku ; Politik Tanpa identitas, Obituari demokrasi, elegi Demokrasi

TUTUP
TUTUP