PDIP Mulai Blak-blakan: Sebut Jokowi Melakukan Abuse of Power di Sisa Masa Jabatannya

PDIP Mulai Blak-blakan: Sebut Jokowi Melakukan Abuse of Power di Sisa Masa Jabatannya

BeritakanID.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengakui partainya telah khilaf mencalonkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo pada Pilkada 2020 lalu.

Hasto mengatakan saat itu PDIP mengusung Gibran karena melihat kepemimpinan ayahnya yakni, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil membawa kemajuan untuk Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Gibran bersama Teguh Prakosa diusung PDIP pada Pilkada Solo tahun 2020 lalu. Namun, dalam Pilpres 2024 Gibran pecah kongsi dengan PDIP setelah ia maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto.

Sementara PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

"Ya kami jujur saja khilaf ketika dulu ikut mencalonkan Gibran, karena kami juga di sisi lain memang mengakui terhadap kemajuan yang dilakukan Pak Jokowi," kata Hasto dalam sebuah diskusi daring pada Sabtu (30/3).

Namun, kata dia, pihaknya kemudian menyadari ternyata kemajuan era pemerintahan Jokowi itu dipicu beban utang pemerintah yang sangat besar. Menurut Hasto, utang pemerintah hampir mencapai 196 miliar USD, lalu swasta dan BUMN hampir mencapai 220 miliar USD.

"Ketika ini digabung, maka ke depan kita bisa mengalami suatu persoalan yang sangat serius," ujarnya.

Selain itu, dia menuturkan Presiden Jokowi telah mempraktikkan nepotisme dengan mencalonkan orang-orang terdekatnya pada jabatan publik.

Hasto menyindir kebiasaan Jokowi menunjuk orang-orang dekatnya ketika menjabat sebagai wali kota Solo untuk
mengisi jabatan strategis di pemerintahan.

Menurut Hasto, salah satu syarat mengisi jabatan strategis saat ini adalah harus mengenal Jokowi sejak ia menjadi wali kota Solo.

"Di dalam penempatan jabatan strategis pun kami melihat untuk menjadi pejabat Indonesia itu harus kenal Pak Jokowi dulu di Solo, ini kan antimeritokrasi, apakah Solo betul-betul menjadi wahana penggemblengan," kata Hasto.

Untuk diketahui, ada cukup banyak pejabat di posisi strategis yang sudah dekat dengan Jokowi sejak sama-sama bertugas di Solo. Bahkan mereka disebut sebagai ”Geng Solo”. Beberapa di antaranya adalah Menko Polhukam dan mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang menjabat sebagai Komandan Lanud Adi Soemarmo pada 2010-2011.

Kemudian, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang pernah menjabat sebagai Komandan Distrik Militer 0735/Surakarta. Lalu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang merupakan Kapolres Kota Surakarta pada tahun 2011.

Hasto menuding telah Jokowi berkhianat pada nilai-nilai yang mengedepankan proses dan perjuangan, tetapi malah melakukan nepotisme.

"Muncullah hampir seluruh keluarga Pak Jokowi, siapa yang dekat dengan Pak Jokowi untuk maju," kata dia.

Ia kemudian menyebut nama mantan sekretaris pribadi Jokowi, Devid Agus Yunanto, yang kini digadang-gadang menjadi calon bupati Boyolali.

"Nepotisme itu kita lihat ternyata justru semakin telanjang di depan mata kita. Misalnya sekretaris Pak Jokowi,

Devid, dicalonkan sebagai calon bupati di Boyolali, itu kan akan merebut basis dari PDI Perjuangan yang selama ini membesarkan," ujar Hasto.

Ia mengatakan, sikap Jokowi tersebut merupakan tindakan yang anti terhadap meritokrasi dan hukum. Dia menuturkan, Jokowi melakukan abuse of power di sisa masa jabatannya karena tahu kondisi kekuatan PDIP. Apalagi hingga saat ini, Jokowi masih berstatus kader PDIP.

"Kenapa Pak Jokowi pada akhirnya memutuskan langkah untuk melakukan kecurangan masif melalui abuse of power dari presiden, dari hulu ke hilir, karena kita melihat beliau kan tahu persis kondisi PDI Perjuangan," ujar Hasto.

Terkait Gibran sendiri, Hasto kemudian menyamakan calon wakil presiden pemenang Pilpres 2024 itu dengan sopir truk penyebab kecelakaan tabrakan beruntun di gerbang tol Halim Utama, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hasto mengatakan sopir truk itu masih berusia 17 tahun serta belum memiliki surat izin mengemudi (SIM). Berkaca dari kasus tersebut, Hasto menekankan pentingnya kedewasaan bagi seseorang untuk mengemban jabatan tertentu.

"Ini sebagai contoh bagaimana ketika orang hanya berorientasi pada hasil, (sementara) proses, usia itu diabaikan, maka ini juga berbahaya," kata Hasto.

Apalagi, kata Hasto, untuk mengelola suatu negara sebesar Indonesia dengan segala
persoalan yang sangat kompleks.

"Masalah ekonomi, masalah sosial, persoalan geopolitik, persoalan kemiskinan, persoalan egoisme agama yang juga masih sering kali menjadi persoalan terkait dengan mental spiritual kita," ujarnya.

Karenanya, dia mengkritisi pencalonan putra Presiden Jokowi itu sebagai cawapres.

"Di tengah-tengah itu muncul suatu tampilan bagaimana seorang anak presiden yang batas usia belum mencukupi, wali kota juga baru dua tahun, kemudian mendapatkan suatu preferensi," ucap Hasto

Sumber: Tribunnews

TUTUP
TUTUP