BeritakanID.com - Penjegalan yang dilakukan terhadap Anies Baswedan agar tidak bisa mencalonkan pada Pilgub Jakarta 2024 ini dinilai sebagai bentuk kepanikan rezim. Pihak penguasa khawatir dukungan rakyat semakin besar kalau Anies kembali menjadi gubernur sehingga tidak bisa dikalahkan kalau maju lagi di Pilpres 2029 mendatang.
“Yang jelas, rezim dan penerus tidak ingin Anies dapat panggung dan peluang untuk pilkada sekalipun. Rezim dan penerus tak ingin ada figur pesaing. Mereka khawatir ada lawan tangguh 2029,” jelas aktivis senior dari Forum AKSI (Alumni Kampus Seluruh Indonesia) Dr. Nurmadi Harsa Sumarta kepada KBA News Rabu, 14 Agustus 2024.
“Mungkin mereka yang enggak suka Anies diuji dengan cara mereka, meskipun tidak hak (benar),” sambungnya.
Meski dijegal sehingga tidak bisa mencalonkan, rezim ini tidak bisa memisahkan Anies dengan rakyat. Bahkan dukungan rakyat kepadanya akan semakin membesar. “Anies bisa berlayar ataupun tidak, tetap dibutuhkan rakyat dan bangsa ini,” papar mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi (Himpie) UGM ini.
Walaupun dia tidak menampik, agar dukungan rakyat bisa menjadi kekuatan politik masih butuh proses panjang. Karena itu pendidikan politik kepada rakyat harus terus digencarkan.
“Jalan perjuangan kita bisa cepat, bisa juga masih terjal dan panjang. Kalau rakyat segera sadar, bangkit dan bersatu pasti segera temukan titiknya. Allah pasti pilihkan jalan terbaik untuk kita,” ungkapnya.
Tipis peluang
Nurmadi Harsa Sumarta menyampaikan demikian karena menilai peluang Anies Baswedan untuk bisa berlayar pada pesta demokrasi di pilkada serentak 2024 ini semakin tipis.
Mengingat yang serius untuk mengusungnya hanya PKS. Masalahnya, PKS harus berkoalisi meski sebagai pemenang Pemilu 2024 di Jakarta. Karena 18 kursi yang dimilikinya di DPRD DKI Jakarta masih kurang untuk bisa mencalonkan sendiri.
Sementara PKB dan NasDem yang semula siap mengusung Anies, menurutnya, dalam sandera dan tekanan yang sangat kuat agar tidak meneruskan dukungannya. “Saya kira semua paham permainan rezim saat ini,” ucapnya.
Sedangkan PDIP, dia menilai, tidak bisa diharapkan untuk bersedia berkoalisi dengan PKS dalam mendukung Anies. Sikap partai itu yang memberi harapan kepada Anies di tengah upaya penjegalan rezim saat ini hanya sekadar mencari simpati.
“PDIP sekadar basa-basi,” kata Doktor Ilmu Lingkungan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini menekankan.
Apalagi terbukti, PDIP masih menunjukkan arogansi dengan meminta kursi cagub kalau berkoalisi. Lebih parah lagi, partai itu menantang PKS agar bersedia mengusung kadernya, Basuki T. Purnama.
“Mereka belum bisa menerima Anies meski elektabilitasnya tinggi. Mega dan PDIP masih merasa sebagai partai besar, belum sadar meskipun di DKI dan beberapa daerah (suaranya) sudah surut. Semoga saja mereka segera bangun dari mimpi tidurnya,” sentilnya.
Karena itu menurutnya, sudah jelas partai berlambang kepala banteng itu menolak mencalonkan Anies Baswedan. Penolakan ini lebih disebabkan karena Anies dan pendukungnya dianggap berbeda ideologi dengan PDIP. “Mereka masih merasa Anies beda ideologi, kiri dan kanan,” demikian Nurmadi Harsa Sumarta.
Sebagaimana diketahui Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, Gelora, dan Prima, sedang berupaya membentuk koalisi besar atau KIM Plus dalam menghadapi Pilgub Jakarta.
KIM yang mengusung Ridwan Kamil ini mencoba menggandeng semua partai, terutama PKS, PKB, NasDem, yang ditengarai menggunakan pendekatan stick (hukuman) dan carrot (imbalan). Kalau koalisi besar yang digagas partai pendukung pemenang Pilpres 2024 Prabowo-Gibran ini berhasil terbentuk, Pilgub Jakarta hanya diikuti satu paslon.
Karena partai lainnya, PDIP, PPP, Perindo, tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan. Gabungan ketiga partai yang pada pada Pilpres 2024 kemarin mendukung Ganjar-Mahfud ini hanya memiliki 17 kursi di DPRD DKI Jakarta. Sementara persyaratannya, minimal memiliki 22 kursi atau 20 persen dari 106 kursi di dewan.
Sumber: kba