Determinasi Iriana dan Kediktatoran Jokowi

Determinasi Iriana dan Kediktatoran Jokowi

Iriana meminta maaf jika ada kesalahan yg dilakukan selama 10 tahun mendampingi Jokowi sebagai ibu suri atau the first lady Indonesia. 

Banyak tanggapan kontroversial nitizen. Bahkan ada yang mengatakan, 10 tahun berkuasa tapi daya rusaknya 100 tahun. 

Dalam hal kekuasaan, determinasi istri terhadap suami dalam menjalankan pemerintahan seringkali terjadi. 

Misalnya di Afrika, tepatnya di Uganda. Presiden Yoweri Museveni, dengan kediktatorannya, berhasil terpilih selam 6 kali dan memimpin Uganda lebih dari 30 tahun sejak 1986. 

Ia dikenal sangat monopolistik dan otoriter. Namun kediktatorannya tidak lebih arogan dari Istrinya, Janet Museveni yang bahkan sukses mendeterminasi kekuasaan suaminya untuk melegitimasi penunjukan dirinya sebagai menteri pendidikan dan olahraga. 

Janet bukan hanya menderterminasi suaminya dari sisi politik, bahkan mendominasi kebijakan pemerintahan di bidang ekonomi. Ia dikenal sebagai wanita bertangan besi. Merampas kekayaan ekonomi dan tidak segan membungkam, mengabaikan hajat hidup masyarakat Uganda.  

Janet berhasil memanfaatkan kedudukan suaminya sebagai presiden untuk menimbun harta pribadi sehingga menjadi salah satu wanita terkaya di Afrika. 

Selain Janet di Uganda, ada pula Leila Ben Ali, Istri Presiden Tunisa, Ben Ali yang berkuasa selama 21 tahun dengan sistem kediktatoran, tangan besinya. 

Ternyata di belakang Ben Ali, istrinya, Leila dikenal lebih diktator dibanding suaminya. Leila terlibat mempengaruhi suaminya dalam menyusun kebanyakan regulasi yang menyengsarakan rakyat. 

Leila diketahui memimpin sebuah kelompok, namanya "Geng 10". Terdiri dari anggota keluarga besarnya yang berhasil memonopoli sektor-sektor bisnis strategis di Tunisia.  

Dengan ini, Laela dikenal sebagai mafia ekonomi pemerintah. Saking terkenalnya, masyarakat Tunisia menyebut Laela sebagai perampok bank dan Supermarket di siang bolong dan di depan banyak orang tanpa bisa disentuh hukum.  

Masyarakat Tunisia sangat membenci Laela melebihi kebencian mereka terhadap suaminya yang dikenal sebagai diktator. 

Menariknya, ketika Ben Ali lengser dari kekuasaan, ia bersama Laela dan keluarganya terbang, mengasingkan diri ke Saudi. 

Sesampainya di bandara Saudi, tepat di tangga turun pesawat, Laela memaki suaminya. Ben Ali disebut sebagai lelaki pengecit. Karena tidak berani melawan kelompok oposisi dan memilih melarikan diri ke Saudi. Laela menyebutnya sebagai lelaki pecundang. 

Makian-makian itu, menunjukkan bahwa Laela, sangat mendeterminasi suaminya. 

Sama halnya di Filipina yang dipimpin Presiden Ferdinand Emmanuel Marcos selama 21 tahun. Ia dikenal sebagai diktator yang sangat kejam. Ia bahkan tak segan membunuh, melenyapkan nyawa musuh-musuh politik dan masyarakat yang tergabung dalam kelompok oposisi. 

Tapi dalam sejarah rakyat Filipina, kediktatoran Marcos tidak lebih kejam dari pada arogansi istrinya, Imelda Marcos. Justru di balik layar, Imelda yang menjadi pembisik utama kekejaman Presiden Marcos terhadap rakyat Filipina. 

Imelda sangat mendeterminasi Marcos, mempreteli kekuasaan suaminya.  Ia bahkan mengangkat dirinya sendiri sebagai gubernur Kota Metropolitan Manila. 

Salah satu bentuk keserakahan Imelda paling "receh" terbukti saat detik-detik tumbangnya Presiden Marcos, masyarakat menyerbu masuk ke dalam istana negara. Ditemukan 2.500 pasang sepatu mewah milik imelda. Ini baru sepatu, belum bentuk keserakahan lainnya. 

Sama seperti kasus Filipina, di Malaysia pernah menjabat Perdana Menteri Tun Najib Razak. Ia dikenal sebagai pribadi santun, merakyat, wong cilik. Tapi akhirnya jatuh lantaran korupsi lalu dipenjara. 

Ternyata, sumber masalah kejatuhannya adalah kerakusan istrinya sendiri, Datin Sri Rosmah. 

Di masanya, jika ada investor global dan lokal ingin berinvestasi di Malysia, syarat pertama yang harus dipenuhi bukanlah seberapa besar jumlah uang yang mau diinvestasikan atau uang investasinya mau didepositkan di bank apa. Tapi wajib bertemu dan mendapat restu terlebih dahulu dari Sri Rosmah. 

Beberpa bulan lalu, saya duduk bersama salah satu mantan menteri pasca reformasi di Indonesia. Beliau bercerita tentang kawannya, investor asal Dubai yang hendak investasi di Malaysia. Ketika menghubungi Sri Rosmah, dia disuruh terbang ke London bertemu Rosmah di salah satu mall megah di sana, Herod. 

Sesampainya di mall itu, investor asal Dubai itu kaget, Rosmah telah membooking dan menutup satu lantai tempat penjualan tas-tas mewah di Herod. Rosmah mendesaknya untuk membayar seluruh belanjaan tas mewah yang nilainya capai Rp 47 miliar. 

Sejumlah kasus di atas memberi pelajaran, bahwa istri yang mabuk kekuasaan, mendeterminasi kekuasaan, bisa mempreteli, mendesak, bahkan mendorong suaminya ugal-ugalan dalam menjalankan pemerintahan. 

Catatan pentingnya adalah kebanyakan kasus istri mendominasi kekuasaan, turut campur tangan dalam kediktatoran suaminya, justru berujung tragis, terguling secara terpaksa, diamuk masyarakatnya sendiri, berakhir dan mati di pengasingan. 

Apa hubungannya dengan kekuasaan presiden di Indonesia? 

Hampir 10 tahun Jokowi memainkan peran yang sangat spekulatif. Di depan layar terlihat sangat santun, merakyat, lemah-lembut. Tapi di belakang layar merekayasa lahirnya regulasi layaknya diktator. 

Jokowi bahkan tidak segan melawan dan menghancurkan kemampuan lawan politiknya dengan kekerasan yang sporadis. Menciptakan perasaan terancam terus menerus. Melahirkan ketakutan yang menyebar ke seluruh kehidupan rakyat.

Banyak korban teror kekuasaan menyerah dan ketakutan. Pasalnya masyarakat bukan hanya diancam, tetapi juga ditahan dan dipenjarakan. Jangankan rakyat kecil, pejabat  setingkat menteri dan ketua umum parpol besar harus menyerah. 

Jokowi bahkan tidak segan mempreteli kekuasaan, di belakang layar mendorong kolega oligarki, termasuk keluarga dan anak-anaknya menguasai asset milik negara, misalnya di sektor pertambangan untuk kepentingan bisnis dan kekayaan pribadi. 

Jokowi bahkan memperalat sistem dan lembaga hukum, merekyasa lahirnya aturan, membajak, menekan sejumlah ketua partai demi suksesi dinasti politiknya dengan cara memasang anaknya, terutama Gibran sebagai wakil presiden. 

Pertanyaannya, apakah Iriana tidak tahu perihal ini? Mungkin saja tahu. Apakah dalam keadaan tahu, Iriana tidak pernah mencoba menetralisir sikap arogan Jokowi? 

Atau justru sebaliknya, di belakang layar turut mendeterminasi, menjadi salah satu sumber pembisik utama Jokowi berlaku arogan? 

Judulnya adalah membangun dinasti politik dan bisnis keluarga. Anak-anak dan menantu semuanya terlibat sebagai proxy bapaknya. Mungkinkah ibunya tidak terlibat, tidak ikut mendeterminasi? 

Sangat arogan dan terbuka, jadi tontonan umum, selain otoriter, presiden menggunakan fasilitas kekuaasaan istana untuk mempekerjakan anak-anaknya, bahkan sampai pada level suksesi sebagai wakil presiden. Termasuk memfasilitasi anak-anaknya menguasai dan berbisnis pada aset-aser penting milik negara. Mungkinkah ibunya tidak ikut terlibat di dalamnya? 

Semoga itu tindakan pribadi Jokowi bersama kolega politiknya. Semoga Iriana di belakang layar, seperti yang terlihat di depan layar: tidak mendeterminasi Jokowi, tidak terlibat mempengaruhi semua arogansi dan kediktatoran Jokowi. 

Semoga Gibran tidak digoyang, tidak dimakzulkan. Semoga Jokowi sekeluarga bisa selamat dari hantaman badai besar yang saat ini sedang berbalik mengejar diri dan keluarganya akibat kediktatorannya selama berkuasa. Semoga Jokowi dan keluarga tidak sampai berakhir dan menghabiskan sisa hidup mereka di pengasingan. (*)

Oleh: Faisal S Sallatalohy
Mahasiswa Doktor Universitas Trisakti

TUTUP
TUTUP