Ini 18 Dosa Rezim Jokowi di Sektor Agraria

Ini 18 Dosa Rezim Jokowi di Sektor Agraria

BeritakanID.com - Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 2024, ratusan petani yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (Geram Tanah) menyampaikan kecaman terhadap 18 bentuk pelanggaran agraria yang dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kecaman itu disampaikan saat demonstrasi di depan Gedung DPR, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta pada Selasa siang (24/9).  

Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dianggap mengkhianati amanat konstitusi dan demokrasi serta menimbulkan darurat agraria.

“Jokowi-MA rezim anti demokrasi,” teriak sang orator dari atas mobil komando diikuti massa saling bersahutan. 

Adapun, 18 dosa Jokowi tersebut yaitu:

1. Reforma Agraria yang Menyesatkan

Pemerintah dinilai membohongi publik dengan klaim menjalankan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar, namun hanya berupa sertifikasi tanah tanpa redistribusi nyata. Kebijakan ini tidak menyentuh rakyat yang tidak bertanah atau yang tengah menghadapi konflik agraria. Program sertifikasi ini dianggap sebagai liberalisasi pasar tanah yang menguntungkan investor dan mempermudah perampasan lahan.

2. Pelanggaran terhadap Putusan MK

Presiden Jokowi dituding melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi hak guna usaha (HGU) hingga 90 tahun dan hak guna bangunan (HGB) selama 80 tahun. Namun, pemerintah malah memberikan izin HGU hingga 190 tahun dan HGB hingga 160 tahun di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), yang dinilai menguntungkan para konglomerat dan investor asing.

3. Perampasan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN)

Pemerintah menggunakan label PSN untuk berbagai proyek infrastruktur, energi, dan pangan, yang berdampak pada perampasan tanah rakyat. Data terbaru menyebutkan bahwa proyek-proyek ini telah merampas 571 ribu hektar tanah di 134 lokasi, serta 1,86 juta hektar untuk proyek food estate di 11 provinsi.

4. Pembiaran Tanah Terlantar oleh Swasta

Presiden Jokowi dianggap gagal mengelola tanah terlantar yang dipegang oleh perusahaan swasta. Dari 7,24 juta hektar tanah terlantar, pemerintah hanya berhasil menertibkan 77 ribu hektar selama periode 2015-2023. Pembiaran ini melanggar UUPA dan merugikan masyarakat kecil.

5. Monopoli Tanah oleh Swasta

Lebih dari 25 juta hektar tanah di Indonesia kini dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar oleh pengusaha kayu. Hal ini memperparah ketimpangan agraria, sementara para petani hanya memiliki lahan yang sangat terbatas, rata-rata 0,1-0,3 hektar.

6. UU Cipta Kerja yang Anti-Petani

UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintahan Jokowi dianggap sangat merugikan petani dan mendorong terjadinya perampasan tanah serta penggusuran. Tercatat 2.939 konflik agraria terjadi selama 10 tahun terakhir, mencakup wilayah seluas 6,30 juta hektar, dan melibatkan 1,7 juta keluarga sebagai korban.

7. Pemangkasan Subsidi Petani dan Nelayan

Berbagai subsidi yang menjadi hak petani dan nelayan seperti subsidi pupuk, benih, serta akses pada alat tangkap nelayan dipangkas. Pemerintah juga menerapkan kebijakan Kartu Tani dan Kartu Nelayan yang justru memperumit akses petani dan nelayan untuk memperoleh bantuan.

8. Korupsi dan Mafia Tanah

Pemerintah dinilai terlibat dalam praktik korupsi agraria dan memberikan kemudahan bagi mafia tanah. Kebijakan terkait Bank Tanah dan Pengelolaan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dinilai memperluas peluang bagi perusahaan besar untuk menguasai lahan secara ilegal, dengan total luas lahan mencapai 8,84 juta hektar.

9. Represi terhadap Masyarakat dalam Konflik Agraria

Pemerintah dianggap melakukan represi dan intimidasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah. Selama masa pemerintahan Jokowi, sebanyak 2.442 orang, termasuk petani, masyarakat adat, perempuan, dan aktivis, telah dikriminalisasi, sementara 1.062 orang lainnya mengalami penganiayaan dan penangkapan.

10. Anti-Petani Kecil dan Gagal Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Pemerintahan Jokowi dianggap lebih mengutamakan korporasi pangan melalui proyek-proyek seperti food estate, ketimbang memberdayakan petani kecil untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Petani kecil semakin terpinggirkan dan kebijakan pangan pemerintah tidak mengakomodasi kebutuhan mereka.

11. Monopoli Pangan oleh Mafia Pangan

Kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintah dinilai menguntungkan mafia pangan, sementara petani lokal semakin terjepit. Jumlah impor beras, sayuran, buah, gula, dan garam yang sangat besar telah melemahkan kedaulatan pangan Indonesia, menjadikan negara sangat rentan terhadap krisis pangan global.

12. Kembalinya Praktik Agraria Kolonial

Pemerintahan Jokowi dinilai menghidupkan kembali praktik kolonial di sektor agraria melalui Hak Pengelolaan (HPL) dan program food estate yang menyerupai cultuurstelsel (tanam paksa). Hal ini melanggar amanat UUPA dan merugikan masyarakat adat dan petani kecil.

13. Pelanggaran terhadap Pasal 33 UUD 1945

Melalui UU Cipta Kerja dan kebijakan lain yang terkait dengan agraria dan sumber daya alam, pemerintah dianggap melanggar Pasal 33 UUD 1945. Implementasi UU ini justru memperparah konflik agraria dan memperkuat ketimpangan hukum agraria di Indonesia.

14. Pembiaran Kerusakan Lingkungan oleh Bisnis Pemodal

Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh bisnis sawit, tambang, dan kayu dibiarkan oleh pemerintahan Jokowi tanpa pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat. Luas hutan yang terdegradasi semakin besar tiap tahunnya, dengan dampak buruk bagi ekosistem dan masyarakat lokal.

15. Praktik Domein Verklaring yang Melanggar UUPA

Pemerintah masih menjalankan praktik domein verklaring yang memberi negara kekuasaan untuk menguasai tanah secara sewenang-wenang. Akibatnya, masyarakat adat dan petani sering kali dianggap hanya menumpang di atas tanah mereka sendiri.

16. Ketidakadilan bagi Nelayan Tradisional

Nelayan tradisional juga menjadi korban perampasan tanah di kawasan pesisir akibat proyek tambang, hutan, dan energi. Selain itu, nelayan kecil dipaksa bersaing dengan kapal besar dalam kebijakan perikanan yang tidak berpihak pada nelayan tradisional.

17. Ketidakadilan Gender dalam Reforma Agraria

Pemerintah dianggap tidak memperhatikan keadilan gender dalam kebijakan Reforma Agraria, di mana perempuan yang bekerja di sektor pertanian sering kali tidak memiliki akses kepemilikan tanah, memperparah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di kalangan perempuan desa.

18. Pelanggaran Konstitusi Terkait Penghidupan dan Pekerjaan yang Layak 

Melalui restrukturisasi kebijakan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, pemerintah dinilai melemahkan kesejahteraan buruh, termasuk dalam hal upah, jaminan pekerjaan, dan hak atas tanah untuk rumah tinggal. 

Sumber: RMOL

TUTUP
TUTUP