Sivitas Akademika ‘Bersuara’, Ubedilah Badrun: Jokowi Lebih Kejam daripada Soeharto!

Sivitas Akademika ‘Bersuara’, Ubedilah Badrun: Jokowi Lebih Kejam daripada Soeharto!

BeritakanID.com - Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun  menyatakan rezim Presiden Joko Widodo  merupakan yang terkejam sepanjang sejarah Republik Indonesia.

“Kalau Jokowi berkuasa saat Orde Baru, mungkin dia yang lebih kejam daripada Presiden Soeharto,” tegasnya kepada KBA News di halaman Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Selasa, 6 Februari 2024.

Hal ini ditegaskan di sela Deklarasi  Rawamangun bertajuk Mengawal Demokrasi untuk Pemilu Bersih dan Damai (baca beritanya di bagian lain laman ini, Red), yang digelar di Plaza Unija, kawasan Rawamangun,  Jakarta Timur.

Motor penting Gerakan Reformasi 1998 berjulukan Idiologi Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ini mencontohkan belum adanya internet di era Soeharto.

“Internet termasuk media-media sosial (medsos) belum ada, sehingga kekuasaan Soeharto tunggal. Tapi sekarang, ada sistem kontrol kekuasaan lewat medsos-medsos, tepatnya sebagai era digital democracy,” lanjutnya.

“Artinya, sistem kontrol masyarakat sekarang ini sebenarnya lebih luas. Tapi rezim ini masih saja bebas melakukan praktik-praktik pelanggaran konstitusi dan demokrasi. Makanya saya katakan, kalau Jokowi berkuasa saat Orde Baru, mungkin dia lebih kejam daripada Soeharto,” tegas Ubedilah.

Dosen Sosiologi Politik pada jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial UNJ ini menambahkan, kampus-kampus sebenarnya sudah lama bersuara menghadapi sepak terjang rezim tersebut, namun suara-suara itu dilontarkan secara individual sehingga  tenggelam.

Belakangan, menurut Ubedillah, muncul suara-suara lantang dari  kampus-kampus yang mengkritisi rezim Jokowi.

Jadi, tambah Ubdeilah, munculnya suara-suara lantang dari kalangan sivitas akademika termasuk para guru besar sekarang ini, sebenarnya merupakan bentuk akumulasi  dari suatu perjalanan panjang kekecewaan.

“Makanya  kami akhirnya bersuara bersama-sama ketika rezim ini sudah out of track (keluar dari jalur) konstitusi dan demokrasi. Sepak terjang rezim Jokowi sudah parah, jadi kampus tidak bisa lagi tinggal diam,” ungkapnya.

Mengenai munculnya  suara ‘sivitas akademika tandingan’ seperti Forum Almni Perguruan Tinggi, Ubedila menegaskan, harus dicek track record kalangan tersebut.

“Mereka bilang kami partisan. Justru mereka yang partisan. Cek track record mereka yang sesungguhnya. Apakah mereka benar-benar akademisi, dan apakah mereka memiliki data seperti kami terkait sepak terjang rezim ini yang sudah keluar dari jalur konstitisi dan demoktasi,” tegasnya balik tanya.

“Tanda-tanda ini (pelanggaran konstitusi dan demokrasi) makin buruk, ketika terjadi pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi, fenomena-fenomena kecurangan, ada kerusakan–kerusakan berdemokrasi, sehingga  sivitas akademika harus bersikap,” tambahnya.

Sebagai entitas kaum terpelajar, tambahnya, kajian-kajian ilmiah sivitas akademika menemukan tanda-tanda bahwa demokrasi di Indonesia sudah memburuk. Bahkan ilmuwan-ilmuwan asing yang mengkaji situasi politik di Indonesia, juga mengakui kenyataan tersebut.

Karena itu, lanjut Ubedilah, wajar jika sivitas akademika menolak proses politik yang merusak hak-hak sipil, merajalelanya korupsi, pemilu yang tidak demokratis atau kecurangan  yang masif.

“Memang dalam sejarah perubahan, kaum cendekiawan adalah bagian terpenting terjadinya proses peristiwa-peristiwa besar di Indonesia,” ungkap Ubedilah.

“Dan sekali lagi, cendekiawan bersama mahasiswa dan semua pihak terkait di dalamnya akan selalu memberikan ruang  untuk melindungi dan bersama rakyat,” ujarnya.

“Dan ketika rakyat terancam, maka kami teranggil. Dalam kerangka lebih besar, kami ingin menyelamatkan demokrasi, menyelamatkan rakyat Indonesia secara lebih luas,” tegas Ubedila.

Sumber: kbanews

TUTUP
TUTUP