Geger Dugaan Kecurangan Pemilu

Geger Dugaan Kecurangan Pemilu

Apa yang salah dari kecurangan pemilu tahun ini? Sampai-sampai semua elemen masyarakat, mulai dari pengamat, pakar, aktivis, tokoh agama, budayawan hingga para akademisi turun ke jalan. Satu suara. Makzulkan Jokowi sekarang juga atau menuntut pemilu diulang dengan slogan ‘Pemilu tanpa Gibran’.

Gerakan massa aksi ini pun tak luput diikuti oleh sekumpulan rakyat kecil di pinggir jalan rel kereta di ujung sana. Kaum Lumpenproletar ini, turut ambil bagian menyuarakan haknya yang di ‘kebiri’ oleh penguasa zalim pro oligarki.

Layaknya pakar terkenal yang sering nongol di layar kaca dan media sosial,  rakyat kecil yang dianggap penguasa sebagai ‘beban negara’ itu, ikut mengomentari kecurangan pemilu dari sudut pandangannya yang masih jernih dan orisinal. Menegaskan sekali lagi Makzulkan Jokowi dan rubuhkan politik dinasti abal-abal keluarga Solo.

Kecurangan pemilu di awal tahun Naga Kayu ini,  juga menjadi sorotan tajam dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Politisi senior sekaligus pengusaha terkemuka di Tanah Air itu,  secara terbuka mengatakan kecurangan Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Mengalahkan Pemilu 1955 yang dinilai para ahli sejarah lebih demoktratis di tengah kondisi bangsa yang baru saja merayakan kemerdekaannya.

Jangan lupa, Pemilu 2019 juga menjadi catatan kelam dimana  kemenangan Jokowi diwarnai dengan kejadian luar biasa yang telah merenggut nyawa lebih dari 500 orang petugas pemilu. Lebih tragis dari Pemilu 2024.

Masalah kecurangan pemilu,  sepertinya seakan baru ini kali saja terjadi. Padahal sejak diberlakukannya UUD 2002 (Pasca Reformasi) yang disetujui oleh para wakil rakyat di Senayan saat itu, menjadi titik awal kehancuran demokrasi di Indonesia.

Kini, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal. Ironisnya, sebagian dari para pelaku di belakang layar yang dulunya agresif, ikut terlibat proses pembuatan UUD 2002 itu, justru sekarang malah berteriak paling depan. Menuntut Indonesia kembali kepada UUD 1945.

Jika dirunut dari sejak berlakunya UUD 2002,  khususnya pelaksanaan Pemilu 2009 juga telah dilakukan dengan curang. Pertanyaannya adalah kenapa dari  pemilu ke pemilu terjadi tetapi tidak menjadi perhatian sekeras pada saat ini?. Padahal bisa jadi pemilu sebelumnya kecurangannya lebih brutal dari sekarang.

Terlepas dari kontroversial kecurangan pemilu, kejadian ini menjadi pemikiran kita bersama. Rakyat harus serentak menyatakan sikap politik bersama menolak Amandemen UUD 1945 sebagai harga mati dan segera mengembalikan UUD 1945 dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jika gagal, maka Indonesia hanya sebuah nama atau akan tenggelam secara pelan-pelan.

Amandemen UUD 1945 menjadi bukti nyata demokrasi sudah ‘dikerangkeng’ oligarki.  Hal ini merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi liberal yang menjadi pilihan para elite politik menginginkan Amandemen UUD 1945. Melalui Amandemen UUD 1945,  menjadi pintu masuknya kelemahan sebagaimana telah diingatkan sebelumnya oleh para aktivis dan akademisi kontra Amandemen UUD 1945.

UUD 2002 produk hasil Amandemen UUD 1945,  terbukti malah memunculkan kerusakan moral dan kecurigaan yang berlebihan. Anak-anak bangsa saling diadu domba dan tanpa sadar menjurus ke arah perpecahan bangsa. Demokrasi transaksional dan politik dagang sapi sudah menjadi budaya bahkan dianggap hal yang lumrah dalam setiap gelaran pesta demokrasi.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki peradaban dan budaya tinggi,  saling menjaga nilai-nilai moral dan kebenaran. Nilai-nilai moral  dan kebenaran, kini  berdiri diatas  tonggak kepentingan, dengan ‘adigium’, tak ada persahabatan abadi, yang ada kepentingan abadi.

Hilangnya nilai-nilai dan kebenaran ini tak lepas karena kehadiran kepentingan telah  menghilangkan nalar dan kewarasan. Tudingan kecurangan pemilu menjadi kode bahwa sesungguhnya Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Berhenti dengan menanggung segala risiko atau memilih mati tertindas. Dua tawaran itu,  menjadi ‘pil pahit’ yang disodorkan oligarki.

Kecurangan pemilu akan kah menjadi siklus  yang berjalan rutinan dalam agenda lima tahunan sekali? Dimana pesta rakyat yang seharusnya dilakukan dengan penuh riang gembira justru menghasilkan pemimpin dari hasil kejahatan. Yang tak lain adalah dampak dari pengkhianatan terhadap UUD 45 diubah menjadi UUD 2002. (*)

Dyah Pramatti, Jurnalis

TUTUP
TUTUP