Kecurangan Pemilu 2024 Dimulai dari Maladministrasi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Kecurangan Pemilu 2024 Dimulai dari Maladministrasi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

BeritakanID.com - Indikasi kecurangan Pemilu 2024 diawali dengan terjadinya maladministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Sehingga bukanlah tudingan yang tanpa alasan jika kecurangan Pemilu 2024 dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). 

Pandangan ini dikemukakan juru bicara Gerakan Penegakan Kedaulatan Rakyat (GPKR) Solo Raya, Endro Sudarsono. Adapun pendapat itu mendukung pernyataan Capres Anies Baswedan dalam sidang perdana gugatan hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 27 Maret 2024.

Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) berupa gubernur, bupati, dan wali kota akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Hal ini berakibat pada kekosongan jabatan kepala daerah di beberapa daerah sejak tahun 2022. 

Menurut Endro Sudarsono, mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014, pengangkatan penjabat (PJ) kepala daerah pada masa transisi menjelang pilkada serentak ini kemudian dilakukan oleh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati dan wali kota. 

Dikatakannya, MK menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bahwa mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah harus dilakukan secara transparan, jelas dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

“Sepanjang 2022–2024, Presiden Jokowi telah melakukan pengangkatan PJ Gubernur di 23 provinsi. Selain itu, melalui Mendagri Indonesia, Tito Karnavian, presiden juga berpengaruh besar dalam penunjukan sebanyak 182 PJ bupati atau wali kota,” terang Endro Sudarsono kepada KBA News melalui sambungan telepon seluler, Rabu, 27 Maret 2024. 

Namun sayangnya, kata dis, penunjukan PJ kepala daerah ini diduga dilakukan secara sepihak dan tidak transparan. Mendagri dan Presiden Jokowi tidak mematuhi putusan MK yang meminta pengangkatan pejabat harus dilakukan secara terbuka, taat pada peraturan pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Juga taat peraturan teknis agar penunjukan bersifat adil. 

“Maka itu, Ombudsman Republik Indonesia pernah menyatakan proses penunjukan pejabat oleh presiden dan mendagri dianggap tindakan maladministrasi,” ungkap Endro Sudarsono.

Dia menegaskan, penunjukan PJ kepala daerah berpengaruh besar terhadap jumlah suara pemilih yang terkumpul. Di mana, PJ kepala daerah berpotensi besar terhadap mobilisasi birokrasi dan izin lokasi kampanye. Sejumlah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) adalah berupa kampanye terbuka mendukung pasangan calon tertentu dan perintah tindakan seperti pencabutan baliho calon presiden seperti yang terjadi di Bali. 

Sumber: kba

TUTUP
TUTUP