KPK berwenang menangani kasus korupsi yang melibatkan Penyelenggara Negara (PN), Aparat Pemegak Hukum (APH) serta orang lain yang terlibat dengan PN atau APH. Hal tersebut tercantum dalam UU No. 19/2019 jo UU No 30/2002, pasal 11 huruf (a). Maknanya, KPK tidak berwenang memanggil, apalagi memeriksa Kaesang mengenai penerbangannya ke AS menggunakan private jet. Sebab, beliau bukan PN atau APH.
Namun, menariknya, Kaesang menemui Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Beliau bukan menemui Pimpinan atau Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK. Jika Kaesang hanya menemui Dewas, bukan Pimpinan KPK atau Dumas, tindakannya tersebut mengukuhkan kebenaran peribahasa Melayu, “buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya.” Maksudnya, “gimana ayah, begitulah anaknya.” Sebab, sudah menjadi pengetahuan penduduk bumi, Jokowi adalah presiden yang paling banyak melanggar Peraturan Perundang-undangan.
Apakah dengan demikian Kaesang bebas semasekali dari jeratan hukum.? Tidak juga. !!!
Kaesang, Rafael, dan Gratifikasi
UU No. 31/99 jo UU No. 20/21, pasal 12B menyebutnya, gratifikasi adalah penerimaan sesuatu oleh PN atau PNS dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas.
Kaesang bukan seorang PN atau PNS sehingga apa saja yang diterima dari siapa pun, tidak terkategori gratifikasi. Apakah itu bermakna, Kaesang bisa lolos dari jeratan hukum APH, khususnya KPK.? Tidak juga. !!! Bergantung “political will” dan kecanggihan proses penanganan perkara oleh KPK. Sebab, KPK bisa mengulangi kasus Rafael Alun, pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kemenkeu.
Kasus Rafael bermula dari ulah anaknya, Mario Dandy Satrio, 20 Februari 2023, menganiaya seorang remaja berumur 17 tahun. Penganiayaan Mario di kawasan Ulujami, Jaksel tersebut mengakibatkan korban mengalami koma cukup lama di RS Mayapada, Jakarta.
Mario yang berpenampilan hedonis dengan motor besar Harley Davidson dan jeep robicon memicu polemik dalam masyarakat. Terungkaplah bau busuk bahwa, Mario adalah anak seorang pejabat Dit. Pajak, Kemenkeu. Masyarakat melalui medsos mendesak KPK agar memroses Rafael. KPK menolak dengan alasan, tidak ada tindak pidana korupsi yang dilakukan Rafael.
Saya pun menulis artikel singkat tentang hal tersebut. Saya menyarankan KPK agar memeriksa LHKPN Rafael. Hasilnya, Rafael dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. KPK berdasarkan pengalaman Rafael tersebut, dapat memroses kasus Kaesang melalui tiga pintu berikut:
1. KPK dan Bobby Nasution
Bobby Nasution (BN), sejatinya merupakan sarapan empuk bagi KPK. Sebab, BN adalah PN dan sudah banyak laporan masyarakat mengenai dugaan korupsinya. Bahkan, pak Busyro Muqoddas, Saut Situmorang (keduanya mantan Pimpinan KPK), ICW, beberapa alumni KPK, dan saya, melapor langsung ke Plt Ketua KPK, Nawawi Pomolango.
Kami meminta KPK segera memroses dugaan korupsi BN, mantu Jokowi dan isterinya Kahiyang Ayu berkenaan dengan isu Blok Medan di Makuku Utara. KPK dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap BN seperti pasal 2, 3, 5, dan pasal 12 UU Tipikor.
KPK juga dapat memidana BN berkaitan dengan gratifikasi. Sebab, menurut pasal 12B UU Tipikor, gratifikasi adalah penerimaan sesuatu oleh PNS atau PN berkaitan dengan jabatannya. BN adalah PN sehingga sehingga bisa langsung diproses KPK. Sebab, menurut ahli telematika, Roy Suryo, BN pernah menumpang pesawat jet pribadi milik pengusaha Medan Asian Capital Grup, RA.
Pasal 12B UU Tipikor menetapkan, penerima gratifikasi harus melapor ke KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi. Namun, disebabkan BN tidak melapor dalam waktu 30 hari kerja, padahal peristiwanya terjadi pada tanggal 11 Desember 2022, maka kasus ini bukan lagi gratifikasi, tapi sudah berststus suap.
Jika BN mengendarai jet pribadi dengan biaya sendiri, beliau harus buktikan, dari mana asal uang tersebut.
KPK dalam penyelidikan/penyidikan kasus BN tersebut, harus menghadirkan Kaesang sebagai saksi. Sebab, Kaesang pernah menumpang jet pribadi. Jika ditemukan dua alat bukti yang meyakinkan sehingga BN ditetapkan sebagai tersangka maka, Kaesang juga dapat ditetapkan sebagai tersangka karena keikutsertaannya berdasarkan pasal 55 KUHP.
2. KPK dan Korupsi Gibran
KPK dapat memasuki pintu kedua mengenai kasus Kaesang dengan cara memeriksa LHKPN Gibran. Sebab, menurut UU No 28/1998, PN wajib melaporkan harta kekayaannya, sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Konsekuensi logisnya, Gibran harus melapor kekayaannya karena sudah tidak menjabat walikota.
KPK sambil menunggu LHKPN Gibran yang terbaru, dapat menggunakan LHKPN-nya sebagai cawapres. Sebab, setiap capres, cawapres, kepala daerah, dan caleg harus melaporkan kekayaanya ke KPK sebelum Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
KPK, berdasarkan laporan masyarakat, antara lain oleh Ubedilah Badrun dan MoU di antara perusahaan Shopee dan walikota Solo, maka status pemeriksaan LHKPN Gibran ditingkatkan ke tahap “pemeriksaan khusus.”
KPK dalam konteks ini melakukan dua hal. Pertama, Gibran diminta membuktikan dari mana hasil kekayaan yang dimiliki, diperoleh. Jika Gibran tidak bisa membuktikan kelegalan harta yang dimiliki, maka beliau dapat dikenakan pasal gratifikasi, suap, konflik kepentingan, pemerasan atau “money laundry.”
KPK dalam konteks ini dapat mengundang beberapa saksi antara lain: Kaesang, BN, isteri BN, perusahaan Shopee, Pemda Solo, dan Jokowi. Jika KPK menemukan dua alat bukti sehingga Gibran berstatus tersangka maka seluruh anggota keluarga Jokowi, termasuk Kaesang, sesuai pasal 55 KUHP, masuk penjara.
3. KPK dan Korupsi Jokowi
Pintu ketiga yang bisa digunakan KPK untuk memenjarakan Kaesang adalah memeriksa LHKPN Jokowi. Sebab, Jokowi, pasca lengser dari jabatan presiden, harus melaporkan kekayaannya. KPK dengan menggunakan metode serupa seperti disebutkan sebelumnya, yakni pembuktian terbalik atas harta yang dimiliki.
KPK dalam proses tersebut, dapat mengundang pelbagai saksi, antara lain seluruh anggota keluarga Jokowi (termasuk Kaesang), para Menteri, pimpinan DPR, dan Kepala Daerah terkait. Hasilnya, Jokowi dan keluarganya, termasuk Kaesang dapat dipenjarakan. Sebab, dosa Jokowi tidak terhitung, mulai dari KKN, khususnya kolusi, nepotisme, gratifikasi, pemerasan, dan money laundry. In syaa Allah !!! (Depok 18 September 2024).
Oleh: Abdullah Hehamahua