BeritakanID.com - Acara ini mempertemukan Ustadz Muhammad Nuruddin, Lc., MA., seorang jebolan Universitas Al-Azhar dan penulis, dengan Guru Gembul, seorang tokoh publik yang dikenal melalui pemikirannya di media sosial yang sebelumnya menantang debat di kanal youtube miliknya. Diskusi tersebut dipandu oleh Faiq Falahi dan disaksikan oleh banyak audiens yang antusias.
Ustadz Nuruddin: Akidah Islam Adalah Ilmiah
Ustadz Muhammad Nuruddin memulai dengan menyatakan bahwa iman dalam Islam bukan sekadar dogma subjektif, melainkan sesuatu yang ilmiah. Menurutnya, banyak orang yang salah paham tentang konsep keilmiahan akidah, terutama karena pengaruh epistemologi sekuler yang hanya mengakui pengetahuan yang bersifat empiris atau indrawi. Ustadz Nuruddin menegaskan bahwa dalam Islam, akidah dapat dibuktikan secara ilmiah dengan logika rasional, bukan hanya melalui bukti empiris.
Ia juga mengkritik pandangan Guru Gembul yang menyatakan bahwa akidah tidak bersifat ilmiah dan menyamakan keberadaan atau ketiadaan Tuhan sebagai hal yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Ustadz Nuruddin menjelaskan bahwa ulama klasik, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah, sepakat bahwa akidah dapat dijelaskan dan dibuktikan dengan dasar rasional.
Dalam pemaparannya, Ustadz Nuruddin menyoroti pentingnya hukum kausalitas sebagai bukti ilmiah keberadaan Tuhan. Ia memberikan contoh sederhana, seperti pulpen atau bangunan yang tentu ada pembuatnya, dan hal yang sama berlaku bagi alam semesta yang tidak mungkin ada tanpa sebab. Ia menyimpulkan bahwa bukti ilmiah keberadaan Tuhan dapat dicapai melalui hukum sebab-akibat yang diakui dalam logika rasional.
Ustadz Nuruddin juga mengutip pandangan ulama seperti Al-Ghazali yang menyatakan bahwa akidah adalah fondasi dari seluruh ilmu dalam Islam. Jika akidah dianggap tidak ilmiah, maka hal itu akan meruntuhkan seluruh bangunan keilmuan Islam yang didasarkan pada keyakinan.
Guru Gembul: Akidah Tak Bisa Diuji Secara Empiris
Guru Gembul, di sisi lain, bersikeras bahwa akidah tidak bisa dibuktikan dengan metode ilmiah. “Tuhan itu gaib, dan gaib itu tidak bisa diuji dengan metode ilmiah yang empiris. Kita tidak bisa membuktikan Tuhan seperti kita membuktikan fenomena alam,” tegas Guru Gembul. Menurutnya, pendekatan ilmiah yang digunakan oleh Ustadz Nuruddin terlalu terbatas untuk memahami hal-hal metafisika seperti ketuhanan.
Guru Gembul juga menekankan pentingnya membedakan antara rasionalisasi dan keimanan. “Akidah itu lebih soal keyakinan, bukan rasionalisasi. Jika semua hal dalam agama harus dibuktikan secara ilmiah, kita akan kehilangan esensi dari keimanan itu sendiri,” tambahnya.
Debat yang Semakin Memanas
Debat tersebut semakin memanas ketika Ustadz Nuruddin mengkritik cara berpikir Guru Gembul yang dianggapnya mengabaikan kekuatan rasionalitas dalam agama.
“Memang benar bahwa Tuhan adalah sesuatu yang gaib, tapi bukan berarti kita tidak bisa menggunakan akal untuk sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Itu adalah kekuatan akidah Islam,” ujarnya.
Di sisi lain, Guru Gembul menolak pendekatan tersebut dan kembali menegaskan bahwa hal-hal gaib tidak bisa disamakan dengan fenomena alam yang bisa diuji secara empiris.
Diskusi ini menampilkan dua sudut pandang yang sangat kontras. Ustadz Nuruddin dengan tegas menyatakan bahwa akidah bisa dibuktikan secara rasional dan ilmiah, sementara Guru Gembul mempertahankan bahwa akidah tidak bisa diuji dengan metode ilmiah yang terbatas pada hal-hal empiris.
Pada diskusi penutup, Guru Gembul menekankan bahwa ia tidak pernah mengatakan rasionalitas itu tidak ilmiah, melainkan menyatakan bahwa rasionalitas saja belum cukup untuk menjadi ilmiah. Untuk disebut ilmiah, harus ada kombinasi antara studi empiris dan rasionalisme. Ia juga menjelaskan bahwa terkait dengan zat Allah, hal ini hanya bisa didekati dengan wahyu, bukan sekadar penalaran rasional atau empiris.
Guru Gembul mengakui bahwa ia tidak terbiasa membicarakan masalah teologi, terutama dalam konteks diskusi ilmiah tentang Tuhan. Baginya, diskusi semacam ini sudah final karena keterbatasan penalaran manusia tidak dapat menjangkau keabsolutan Tuhan.
Meski begitu, ia menghargai adanya perbedaan pendapat dalam detail dan diksi, namun tetap menekankan bahwa mendekati Allah hanya bisa melalui iman dan wahyu, bukan hanya pembuktian rasional atau empiris semata.
Dalam diskusi terbuka ini, sempat terlontar ungkapan kekecewaan dari Ustadz Nuruddin terhadap Guru Gembul yang diskusi tanpa menggunakan referensi dan meremehkan diskusi. Tandasnya dalam penutup diskusi, “Beliau (Guru Gembul) itu yang menantang duluan loh, tapi ternyata datang dengan sikap meremehkan. Saksi semua tahu, yang menantang saya untuk mengilmiahkan Tuhan adalah beliau. Namun ketika datang, argumen dan referensi ilmiahnya tidak hadir. Saya tanyakan, apakah itu sikap seorang akademisi atau ilmuwan yang benar? Saya sudah memaparkan bahwa ulama Sunni dan Syiah, baik Timur maupun Barat, sepakat bahwa Tuhan dapat dibuktikan secara rasional. Itu landasan ilmiah yang saya jelaskan.”
“Namun, sayangnya,” lanjut Ustadz Nuruddin, “beliau hadir dengan sikap yang kurang ilmiah. Padahal sebagai seseorang yang menantang, seharusnya dia siap dengan argumen yang jelas. Tapi karena beliau punya banyak pengikut, saya merasa perlu merespon. Jadi, kepada para pengikutnya, yang percaya silakan percaya, yang tidak setuju silakan tidak setuju, tapi yang penting adalah bahwa saya telah menyampaikan dengan landasan yang kuat. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.”
Pasca acara, ramai di jagad media, Guru Gembul mengakui kekalahan dalam diiskusi ini, meski dia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Netizen yang pro dan kontra juga saling balas-membalas komentar. Rata-rata sepakan Guru Gembul kalah debat, bahkan ada yang memakai diksi “Guru Gembul Dirujak Ustadz Nuruddin”.
Demikianlah sekilas tentang perdebatan menarik ini, paling tidak dengan adanya debat ini, tumbuh budaya ilmiah di internal umat Islam, dan sebuah peringatan untuk siapa saja supaya tidak asal berbicara sesuatu yang bukan keahliannya, karena bisa menyesatkan banyak orang.
Sumber: indonesiainside