BeritakanID.com - Salah satu tujuan utama diterapkan pajak oleh negara adalah untuk keadilan. Hal tersebut selain harus tercermin dalam alokasi penggunaannya juga pemungutannya.
Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, pemungutan pajak yang adil harus tercermin dari subyek dan sumber obyek pajak yang tepat. Salah satunya dilihat dari kemampuan bayar (ability to pay) dari subyek pajak.
“Mereka yang memiliki kemampuan membayar pajak lebih besar seharusnya membayar lebih besar dan yang kemampuannya lebih kecil membayar lebih kecil. Bukan justru sebaliknya,” kata Suroto kepada RMOL, Kamis, 28 November 2024.
Lanjut dia, rencana peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen oleh pemerintah tahun depan adalah bentuk kurang tepat dalam menyasar potensi kemampuan membayar pajak dari subyek pajak.
“Bahkan jika subyek pajak dianalogikan sebagai domba, dalam hal ini sudah menguliti kulit dombanya dan bukan lagi mencukur bulu dombanya,” ungkap dia.
“Mereka yang akan membayar PPN adalah konsumen melalui harga yang ditambahkan oleh pengusaha. Kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen itu adalah angka yang signifikan,” tambahnya.
Sebab, sambung CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation) itu, angka ini jika dilihat dari nilainya dikalikan dari jumlah nilai transaksinya. Sebut saja misalnya jika perusahaan memiliki omset penjualan barang terkena PPN sebesar Rp10 miliar maka harus membayar sebesar Rp100 juta.
Dalam angka agregatnya, ketika menggunakan nilai penjualan yang berpotensi PPN dengan angka nilai tahun 2023 yang sebesar Rp742,2 triliun. Jika tarifnya adalah 11 persen maka nilai penjualannya sebesar Rp6.747,2 triliun.
“Jika angka ini dikalikan 12 persen maka nilainya adalah sebesar Rp809,6 triliun. Rencana tambahan pendapatan dari pajak PPN oleh pemerintah tahun 2025 adalah sebesar Rp67,4 triliun,” jelasnya.
Rencana penambahan target sumber pendapatan pemerintah dari sumber PPN sebesar kurang lebih Rp67,4 triliun di tahun 2025 mendatang adalah nilai besar yang harus dibayar oleh masyarakat. Terutama konsumen masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Tarif yang tinggi dari PPN ini justru berpotensi menggerus daya beli masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah dan menjadi pemicu inflasi serius. Sehingga dampaknya justru akan menjadi backlash bagi perekonomian makro secara keseluruhan di tengah masyarakat menengah ke bawah sedang terengah menghadapi penurunan daya beli,” beber dia.
Hal tersebut bukan hanya akan berpengaruh ke sisi demand side atau kemampuan pendorong ekonomi dari permintaan konsumen, namun juga akan menekan ekonomi masyarakat di posisi supply side yang dampaknya akan menekan harga harga barang mentah pendukung usaha pabrikasi.
“Secara natural para pengusaha pabrikasi akan melakukan pengalihan biaya (transfer cost) ke bahan mentah karena jika membebankan sepenuhnya kepada konsumen maka akan mempengaruhi target penjualan mereka,” jelasnya lagi.
“Jika ingin mendapatkan sungguh-sungguh bulu domba dan bukan menguliti kulit dan daging dombanya, serta menjadikan instrumen pajak sebagai pedang keadilan, maka solusi yang tepat diterapkan oleh pemerintah itu seharusnya justru pajak harta,” pungkas Suroto.
Sumber: rmol