BeritakanID.com - Perubahan adalah keniscayaan. Semua yang berada di bawah terik matahari harus berganti. Kekuasaan dalam budaya Jawa dan Islam yang pasti berputar kaya lingkaran cakra, maka semuanya mau tak mau harus terjadi pembaruan. Tak ada yang abadi.
Semangat itu tampak sekali dalam ekpresi mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, ketika memberikan orasi pada ‘Silaturahim Elemen Tokoh dan Elemen Rakyat’ yang digelar di sebuah restoran masakan Arabia, di bilangan Menteng Jakarta Pusat, Selasa siang, 1 Oktober 2024.
Din yang berbicara singkat memberikan catatan atas gerakan perubahan di Indonesia yang sudah niscaya tidak akan bisa dilawan. Sebuah kekuasaan akan segera berakhir. Tak hanya itu Dien mengatakan, justru bila kekuasaan lama akan terus berusaha eksis maka hukum alam atau sunatullah itulah yang akan menghancurkan. Perubahan adalah semangat yang terjadi pada sepanjang zaman.
“Perubahan sudah tak bisa dilawan. Semangat ini terlihat dalam forum ini. Jadi perubahan pasti akan terjadi. Setelah itu, mari segera kita akan perbaiki negara ini agar tak lagi digadaikan,’’ kata Din.
Din kemudian memberikan catatan tentang beratnya tantangan ketika akan melakukan perubahan. Salah satunya adalah usaha pembungkaman oleh tangan pihak penguasa yang takut atas terjadinya pergantian kekuasaan. Bahkan, kini mereka tak segan melakukan aksi pembungkaman itu dengan kekerasan yang dilakukan secara telanjang di depan umum atau mata dunia yang terbuka.
‘’Atas terjadinya aksi kekerasan pada sebuah diskusi di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan beberapa hari silam, menyadarkan kita semua kekuasaan pasti akan berganti. Saya yang hadir dalam diskusi itu melihat langsung tindakan kekerasan tersebut. Dan karena peserta acara itu dari kalangan aktivis Indonesia yang tersebar di berbagai negara, maka aksi itu segera menyebar ke seluruh dunia. Banyak sekali pertanyaan ke saya tentang peristiwa kekerasan tersebut. Di antaranya bertanya: Apakah saya takut? Saya jawab: lahaula walakuata illabillah aliyil adzim?’’ tegas Din.
Silaturahim lintas elemen tokoh dan elemen masyarakat itu berlangsung meriah. Sekitar seratus orang mendatangi tempat itu. Sebagian peserta ketika ditanya mengenai keantusiasan mereka menghadiri acara itu, mereka menjawab karena penasaran apakah akan lagi terjadi penyerbuan atas forum diskusi mengenai nasib masa depan kekuasaan Jokowi masih ada preman yang berani menyerbu dan mengobrak-abrik.’’Kami dan teman-teman sengaja datang untuk memantau,’’ kata ibu Desi aktivis gerakan demokrasi yang datang dari Jakarta Timur.
Tak hanya dihadiri aktivis, ‘emak-emak’ pendukung perubahan, pakar IT yang berani mengatakan bila 99,9 % akun Fufufafa dipunyai Gibran Rakabuming, juga ikut memberikan orasinya. Kali ini Roy yang juga salah satu punggawa kraton Pakualaman Jogjakarta membeberkan kisah klasik kepemimpinan Jawa yang diambil dari ‘lakon’ wayang kulit ‘Petruk Dadi Ratu’ (Petruk Jadi Raja). Roy menuturkan kisah ini dengan gaya bahasa campuran, yakni memakai bahasa Indonesia dan Jawa. Intinya dia berpesan aga hati-hati terhadap pecitraan kekuasaan.
‘’Begini kisah atau filosofi Petruk Jadi Raja saat ini. Alkisah, ing Oslo ada sosok dekil. Bikin pencitraan luar biasa. Ketika ada banjir dia bercerita bila soal banjir akan mudah dan tuntas bila dia jadi penguasa. Kemudian juga cerita akan mobil murah di mana pesanannya sudah mencapai ribuan. Namun, segala pernyataan, janji, dan tingkah dia kemudian tak terbukti. Malah berubah malah menjadi lakon ‘Goro-Goro’: Petruk Jadi Ratu.
Dan, berbekal mantra surat kalimasadha (surat kalimat sahadat) dia jadi Raja Petruk yang sakti. Petruk menjadi raja dengan gelar baru wel gudewel beh….Yang juga bergelar ratu kantong bolong (ratu yang suka membuat kantong berlubang/bokek),’’ kata Roy ketika memberikan orasinya.
Tak kalah dengan Roy, mantan juru bicara presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi, juga memberikan renungan atas isi lakon wayang Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). ’’Jadi kalau nanti ada pengadilan atas perilaku Petruk yang jadi raja adalah kritik kepada ksatria yang selama ini membiarkan berlangsungnya kerusakan sosial. Dan ini pun dalam kazanah sejarah Jawa sudah pernah terjadi ketika ada rakyat jelata jadi raja.”
“Pada zaman dahulu di Jawa juga ada sosok rakyat jelata yang jadi raja, yakni Ken Arok pendiri kerajaan Singasari. Ketika itu juga terjadi zaman edan, bahkan suasananya lebih edan dari yang dikisahkan pujangga Jawa, Ranggawarsita. Nah, kini terjadi lagi yakni ketika hutan terus saja digunduli, negara susah, rakyat susah. Langit seakan terasa mau runtuh,’’ tandas Adi Massardi.
Mendengar pidato Din Syamsuddin tentang perubahan kekuasaan yang pasti akan terjadi, hingga pemaparan kisah carangan dalam wayang kulit purwa ‘Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja), disambut penuh semangat oleh para peserta pertemuan. Tak henti-hetinnya mereka menerikan yel-yel ‘merdeka’.
Bahkan mereka secara aklamasi mengucapkan sumpah yang dipimpin mantan Danjen Kopasus, Sunarko, untuk mencintai Indonesia dengan segenap jiwa raga.’’Apakah kalian sanggup,’’ tanya Soenarko dan segera dijawab dengan teriakan bergumuruh:’’Sanggup…!”
Sampai usai acara, suasana berlangsung aman. Terlihat para jawara Jakarta mengawasi keamanan tempat itu. Sepasukan aparat kepolisian dari Polsek Menteng juga menjaga tempat itu. Semuanya tak ingin peristiwa memalukan seperti terjadinya aksi kekerasan kepada peserta diskusi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, terulang kembali.
Sumber: kba